Press Release
Kekerasan dan Pelanggaran
HAM Oleh Aparat Militer Indonesia
Terus Berlajut Di Tanah
Papua
Papua terus bergejolak sejak berada di bawah administrasi pemerintahan
Indonesia untuk pertama kali melalui penyerahan dari United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei
1963. Selanjutnya Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia berdasarkan hasil
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, yang
kemudian dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 2504 dalam sidang
tanggal 19 November 1969. Namun hasil ini tidak menghilangkan konflik.
Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA
atau sesudah Papua secara diam-diam dijadikan bagian dari wilayah Indonesia,
pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan keamanan (militer) dengan dalih
menegakan kedaulatan negara, mengikis habis gerakan separatisme yang telah
dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua. Bahkan, pendekatan ini juga
dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah gerakan rakyat sipil yang kritis
terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok pro kemerdekaan di Papua
yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan penuh
rekayasa.
Dalam kenyataannya, penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun rezim telah
beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya perubahan
signifikan kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi Papua ke Indonesia.
Faktanya pendekatan keamanan dan militer masih dipertahankan dan digunakan
dengan alasan ancaman keamanan dan kedaulatan negara.
Lebih lanjut, ketika terjadi perubahan politik di atas seiring tumbangnya
rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik Papua tidak beranjak dari pola
pendekatan di atas. Kendati tahun 2001 pemerintah pusat yang ketika itu
dipimpin oleh Presiden Megawati Sokarnoputri memberikan Otonomi Khusus (Otsus)
sebagai suatu insentif politik terhadap Papua melalui Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001, namun ia tidak menandakan sebagai gejala adanya perubahan pola
penanganan Papua, karena kenyataannya pendekatan yang bertumpu pada penggunaan
aparat TNI masih diberlakukan. Tetap berlanjutnya pendekatan ini terhadap Papua
mencerminkan sikap setengah hati dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan
konflik antara Jakarta-Papua secara damai dan tanpa kekerasan.
Pemerintah pusat nampaknya tidak belajar dari konflik serupa yang pernah
dihadapi di daerah lain sebagai pelajaran untuk menuntaskan masalah Papua.
Pengalaman lain itu merujuk pada konflik di Timor-Timor (East Leste) pada tahun1999 telah memperoleh kemerdekaan penuh
setelah digelar Referendum. Terkait itu, tidak terlihat ada upaya transfer
pengalaman dari daerah itu ke Papua. Berlanjutnya pendekatan keamanan di Papua
ini menimbulkan banyak persoalan. Fakta di lapangan menunjukan bahwa pendekatan
ini berdampak pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tidak ada
perubahan baik sebelum dan sesudah reformasi, atau juga sebelum dan sesudah
Otsus diberlakukan. Rakyat dan Tokoh Papua seringkali menjadi sasaran ancaman
dan kekerasan aktor keamanan, terutama mereka yang dianggap kritis terhadap
kebijakan Jakarta.
Secara umum kondisi HAM belum berubah di Papua, khususnya terkait dengan
pembatasan beberapa hak, seperti pembatasan kebebasan berekspresi, pembatasan
dan pelarangan orang asing (Jurnalis Internasional dan Touris). Pelanggaran
yang terjadi sangat bervariasi mulai pembatasan kebebasan berkumpul dan
berpendapat, ancaman kekerasan dan kekerasan terhadap masyarakat sipil,
penyiksaan, penangkapan secara sewenang-wenang, pembunuhan, kekerasan seksual,
hingga perampasan harta benda, dan lain-lain.
Kondisi HAM di Papua mencerminkan suatu ironi. Sebab, berbagai peristiwa
kekerasan dan pelanggaran HAM terutama di masa reformasi, terjadi di tengah
upaya perbaikan HAM seiring dengan bergulirnya era reformasi. Bahkan situasi
HAM di wilayah ini dapat dikatakan tetap dalam keadaan buruk seiring dengan
terus berlangsung kekerasan dan pelanggaran HAM. Atas nama menjaga kepentingan
“keamanan Negara” dan “kedaulatan NKRI”, aparat melakukan kekerasan. Lebih lagi
ada gejala pengabaian dan pembenaran terhadap hal itu.
Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak muncul di ruang kosong.
Dalam konteks Papua, kasus-kasus itu tidak bisa dilepaskan dari konteks
kebijakan keamanan yang terus diberlakukan. Dengan kata lain, ketika pendekatan
keamanan menjadi pilihan yang ditempuh untuk penanganan konflik dan terhadap
setiap perbedaan yang terjadi antara pemerintah dan rakyat, potensi timbulnya
pelanggaran HAM selalu terbuka.
Salah satu kasus yang mencuat dan mengundang perhatian publik di dalam dan
di luar Papua, misalnya pembunuhan tokoh Papua Thesy Eluay, Ketua Presidium
Dewan Papua (PDP) pada 2001. Kasus pembunuhan tokoh Papua ini melibatkan satuan
operasi Kopassus sebagai pelakunya yang oleh pengadilan telah divonis bersalah.
Sementara kasus lainnya misalnya penyiksaan yang terjadi di Puncak Jaya oleh
aparat TNI. Kasus ini terpublikasi melalui video Youtube sehingga mengundang
banyak perhatian baik dari dalam dan luar Papua. Di luar itu masih banyak kasus-kasus
lainnya. Terlebih lagi, jika diakumulasikan dengan kasus yang tidak sampai
terpublikasi.
Jika mencermati seksama sejumlah kesaksian narasumber warga di lapangan,
kekerasan dan pelanggaran HAM merupakan persoalan yang secara potensial terjadi
menimpa orang Papua dalam keseharian hidup mereka. Dengan kata lain, potensi
menjadi korban sangat terbuka. Terlebih lagi bagi orang Papua yang tinggal di
daerah pedalaman atau terpencil. Potensinya sangat meluas. Tidak hanya
berkaitan hak sipil dan politik, melainkan juga dalam hak ekonomi sosial dan
budaya. Dari bentuk-bentuknya yang selama ini terjadi sangat beragam. Mulai
dari kekerasan fisik, pembunuhan, penyiksaan, intimidasi, hingga perampasan
tanah adat dan barang milik warga. Namun, tidak semua kasus itu terpublikasi
sehingga tidak menutup kemungkinan jumlahnya melampaui jumlah yang mencuat
selama ini.
Personalisasi, Proseduralisasi, dan “Pembenaran”
Kekerasan
Jika mencermati sejumlah pernyataan di pusat nampak ada upaya personalisasi
setiap kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer di Papua. Dalam
artian, kekerasan ini kerap dikonstruksi sebagai kesalahan individual dan tidak
ada korelasinya dengan kebijakan keamanan. Selain personalisasi, juga ada
gejala “proseduralisasi”. Misalnya para pelaku itu lebih dipandang sebagai
menyalahi prosedur atau Protap, pelanggaran disiplin, dan lain-lain. Karena
itu, istilah oknum dipakai. Dalam kasus lain, juga terjadi pola pembenaran dan
sikap yang cenderung primitif terhadap perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
aparat TNI. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Ryamizard Ryacudu ketika
menyikapi kasus pembunuhan terhadap tokoh PDP yang dilakukan oleh Kopassus.
Perluasan Target (Korban) Kekerasan oleh Aparat
Lebih lanjut, jika mencermati aspek korban dalam kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI di Papua, terdiri dari berbagai
latarbelakang. Mereka yang menjadi korban ini mulai dari tokoh politik, agama,
masyarakat, jurnalis, ORNOP, hingga warga secara umum. Fakta latarbelakang
korban yang beragam ini memperlihatkan bagaimana tindakan represif yang
dilakukan oleh aparat militer di Papua tidak mengenal batasan. Dalam artian,
tindakan tersebut dapat mereka lakukan atau menimpa siapapun di Papua.
Faktor-faktor Penyebab Maraknya Pelanggaran HAM
Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kekerasan dan
pelanggaran HAM di Papua. Namun, secara umum hal itu tidak bisa dilepaskan dari
berlanjutnya kebijakan keamanan yang menempatkan pendekatan represif dalam
menangani masalah Papua. Yang paling mendasar tentu saja berkaitan dengan aspek
paradigma yang mensekuritisasi seluruh persoalan Papua. Masalah ini telah
menumbuhkan berbagai stigma negatif terhadap orang-orang Papua,
ketidakpercayaan dan sikap untuk selalu mencurigai. Di lapangan, persoalan ini
menjawab dalam bentuk pola sikap dan pola tindak yang represif.
Kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua juga berkaitan dengan persoalan
nilai di internal TNI yang belum berubah. Misalnya berkaitan dengan doktrin.
Persoalan nilai ini seringkali membuka ruang bagi kekerasan TNI. Dan bahkan,
ada kecenderungan pembenaran terhadap setiap kekerasan dan pelanggaran HAM oleh
TNI, atas nama menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.
Selain itu, terus berulangnya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua,
paling juga disebabkan oleh berbagai faktor lain, di antaranya: Otsus yang
tidak Konsisten, ketertutupan dan Lemahnya Pengawasan terhadap Aparat Kemanan,
impunitas terhadap berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi,
budaya Kekerasan yang masih melekat serta lemahnya pemahaman HAM di aparat,
stigma Separatis terhadap warga Papua, rendahnya Kesejahteraan aparat di bawah,
keterlibatan dalam berbagai bisnis di Papua, dan lain-lain.
Kekerasan dan Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat Milier Indonesia
terus berlanjut hingga saat ini, seperti yang diberiakan lewat media online,
media elektronik, maupun cetak bahwa di Papua saat ini sedang marak terjadi
penembakan – penembakan misterius oleh orang – orang yang tidak dikenal, namun
menurut kami teror berupa penembakan – penembakan yang terjadi di beberapa
daerah di Papua itu memang sengaja di lakukan Oleh Aparat Militer Indonesia (
TNI / POLRI ) yang berada di Papua.
Sejak dua bulan terakhir ( Mei – Juni 2012 ) ini
saja tercatat berbagai kasus kekerasan berupa penembakan oleh Aparat Militer
Indonesia terhadap orang asli Papua yang menelan puluhan korban meninggal dan
luka – luka, beberapa kasus penembakan yang di lakukan oleh Aparat Militer
Indonesia dalam dua bulan terakhir ini diantaranya : 1). Penembakan yang
dilakukan oleh TNI terhadap 1 Orang massa KNPB pada tanggal 1 Mei 2012, ia
ditembak setelah ia bersama rekan – rekannya pulang seusai mengikuti aksi demo
Hari Anegsasi di Jayapura, 2). Penembakan yang dilakukan oleh Polisi terhadap 5
Warga Papua di Degeuwo, 4 orang kritis dan 1 meninggal dunia, penembakan
terhadap 5 warga Degeuwo ini dilakukan oleh aparat Kepolisiaan untuk melindungi
Penambangan ilegal yang ada di sana, 3). Penembakan yang dilakukan oleh TNI dan
Polisi terhadap massa Aksi KNPB ketika hendak melakukan Aksi Demo di Jayapura (
Sentani ) pada tanggal 4 juni 2012, dalam kasus ini terdapat 2 orang korban
meninggal dunia, belasan lainnya luka – lukan dan puluhan orang lainnya di
tahan oleh Polisi. 4) Penyerbuan dan penembakan yang dilakukan oleh TNI
Batalion 756 Wamena terhadap masyarakat di kampung Honelama, Wamena, Kab, Jayawijaya, Papua
pada tanggal 6 juni 2012, dalam kasus penyerbuan dan penembakan yang dilakukan
TNI ini terdapa 4 korban orang Dewasa dan 1 orang anak kecil. Selain menembaki
warga setempat, TNI pun melakukan pembakaran dan pengerusakan rumah – rumah
warga setempat. Selain itu TNI pun melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
Puluhan warga setempat 5). Penembakan yang dilakukan oleh oknum Polisi terhadap
seorang pemuda asli Papua ( Teju Tabuni 17 tahun ) di Jayapura pada tanggal 7
Juni 2012. 6). Penembakan yang dilakukan oleh Polisi terhadap warga Papua di
Serui, dalam kasus ini terdapat 1 orang meninggal dunia ditembak Polisi, selain
itu polisi juga melakukan pembakaran rumah – rumah warga setempat.
Selai beberapa kasus diatas, beberapa kasus teror yang sering terjadi
di Papua belakangan ini, kemungkinan besar dilakukan oleh aparat militer
Indonesia yang sengaja ingin mengkambing hitamkan gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh Rakyat Papua. Dari beberapa bukti – bukti proyektil peluruh yang
diambil dari tubuh korban penembakan sangat jelas menunjukan kalau pelaku teror
di Papua selama ini adalah Militer Indonesia itu sendiri.
Dengan melihat rentetan peristiwa kekerasan yang
dilakukan oleh Aparat Militer Indonesia terhadap Orang Asli Papua di tanah
Papua, maka kami Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP ) menuntut “ TARIK MILITER DARI SELURUH TANAH PAPUA ” dan menyatakan sikap :
1.
Tarik
Militer Organik dan Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua
2.
Bubarkan
Kodam, Batilion 753 Nabire dan Batalion 756 Wamena
3.
Tutup
Penambangan Ilegal di Degeowoo dan Di Seluruh Tanah Papua
4.
Buka Ruang
Demokrasi Yang Seluas – Luasnya Di Tanah Papua
Demikian
pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP ), kami menyerukan kepada seluruh Mahasiswa
Papua untuk bersatu dan bersama-sama berjuang melawan segalah bentuk
kekerasan dan penindasan yang terus di lakukan oleh Militer Indonesia terhadap
Orang Asli Papua.
Yogyakarta, 11 Juni 2012
Sonny D
Kordum
0 komentar for "PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MAHASISWA PAPUA TERKAIT KEKERASAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA"