(Suatu
Tinjauan Historis)
Oleh: Melian Nawipa, S.IP
Fakta dan
data sejarah mencatat bahwa, kehadiran perusahaan raksasa Freeport McMoRan
Copper and Gold telah mengelabui dan/atau membungkam status politik Papua Barat
yang mulai menjadi perbincangan internasional semenjak 1940-an. Akan tetapi,
pada akhirnya pihak internasinal sendiri tidak berperan sebagai wasit non blok.
Malahan mereka mengambil kebijakan yang berat sebelah, yakni mendukung
Indonesia agar nantinya bisa mencaplok Papua Barat kedalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan karena PBB dan Amerika Serikat
juga terbuai dengan kandungan kekayaan alam Negeri Burung Cenderawasih tercinta
ini. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah langkah-langkah kebijakan konkrit
para elit kleptokrasi sebagai upaya menghadirkan Freeport.
A.
Ekspansi Belanda Versus Rezim Orde Lama (Soekarno)
Sekitar tahun 1936 Pemerintah
Kerajaan Hindia Belanda (Nederland Nieuw Guinnea/NNG) membentuk sebuah team
bernama Ekspedisi Colijn dalam rangka perluasan daerah jajahan dengan sasaran
di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Team ekspedisi ini menggunakan pesawat
terbang Sikorsy bermotor ganda, yang terdiri dari Letnan F.J. Wissel, seorang
penerbang Angkatan Laut bersama Jean-Jacques Dozy, seorang geolog Belanda dan
anggota ekspedisi lainnya. Dalam penerbangan perdananya mereka berhasil
menemukan danau Paniai, yang selanjutnya dinamakan Wissel Meren, sesuai nama
penemunya. Penerbangan berikutnya mereka melintasi puncak Carstenz dan berhasil
menemukan sebuah gunung salju (Ertsberg), lalu Geolog Dozy diterjunkan dengan
perasut dan tinggal disitu beberapa saat untuk memeriksa kandungan emas dan
tembaga. Berdasarkan laporan hasil penemuan dan penelitian team ekspedisi,
Belanda membuka perwakilan Pemerintahannya yang pertama di Enarotali Wissel
Meren Paniai untuk kawasan Pegunungan Tengah Papua pada tanggal 10 November
1938. DR. Jean Victor De Bruijn ditempatkan sebagai kepala kantor atau
Kontroleur pada tanggal 20 Januari 1939 dengan tugas ganda, yakni memeprluas
Pax Nederlandica, wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda hingga
ke pelosok-pelosok, dan memperkenalkan peradaban barat kepada penduduk pribumi.
Sebagai anti Nederland Niew Guinnea, maka pada tanggal 17
Agustus 1945 Soekarno menggelar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan
mengklaim seluruh daerah koloni Kerajaan Hindia Belanda termasuk tanah adat
Papua adalah wilayah kekuasaannya.
Asumsi
ini muncul karena Indonesia tahu bahwa daerah tersebut kaya dengan emas dan
tembaga yang pernah ditemukan oleh seorang geolog Belanda bernama Jean- Jacques
Dozy, salah seorang anggota ekspedisi Colijn tahun 1936, saat hendak mendaki
puncak Nggapulu (puncak Cartenz). Namun demikian pihak Belanda menganggap bahwa
Papua masih merupakan salah satu Provinsi dalam bingkai Pemerintah Negara
Kerajaannya. Sebagai wujud kleptomaniak dan tindakan ekspansinya, Indonesia
segera membentuk Propinsi Irian Barat pada tanggal 17 Agustus 1956 dengan ibu
kotanya di Sowasiu yang terletak di pulau Tidore, sekaligus mengangkat dan
melantik Zainal Abidin Syah selaku Gubernur pertama. Selanjutnya, Presiden
Soekarno mengeluarkan UU NO. 56 tahun 1958 yang memerintahkan
dinasionalisasikannya semua perusahaan asing Belanda dikawasan Indonesia.
Kebijakan lain yang dikeluarkan adalah memindahkan Pasar Pelengan Tembakau
Indonesia ke Bremen (Jerman Barat), aksi mogok para buruh perusahaan Belanda di
Indonesia serta melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda. Pihak Belanda
pun tak mau ketinggalan, sehingga terus berupaya melakukan persiapan
memerdekakan Papua dengan trarget selambat-lambatnya tahun 1970-an.
Namun,
ditentang pemerintah Republik Indonesia, maka tanah adat Papua menjadi daerah
perebutan sumber-sumber ekonomi. Masalah perebutan ini kemudian dibicarakan
dalam beberapa pertemuan dan berbagai forum internasional. Misalnya, dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 Belanda dan Indonesia tidak berhasil
mencapai keputusan mengenai Papua. Saat itu kedua belah pihak setuju bahwa
perebutan wilayah kekuasaan ini dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu
tahun. Malahan Belanda mengirimkan Kapal Induk Hr. Mc. Karel Doorman ke Papua.
Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan
diperairan Papua. Kekuatan militer Belanda terus bertambah, yang mana disusul
dengan kekuatan Angkatan Daratnya. Selain itu, Batalyon Infantri Oranje
Gelderland yang terdiri dari tiga Batalyon ditempatkan di Sorong, Fakfak,
Merauke, Kaimana dan Teminabuan. Akhirnya pada bulan Desember 1950, PBB
memutuskan bahwa Papua juga memiliki hak merdeka atau Self Determination,
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Kemudian Belanda mengundang
Indonesia ke Mahkama Internasional (ICJ), akan tetapi ditolaknya. Pada tanggal
6 Maret 1959 harian New York Time melaporkan bahwa telah ditemukannya
tambang emas dan tembaga oleh geolog Belanda Jean-Jacques Dozy pada beberapa tahun
silam, yakni 1936 didekat Laut Arafuru.
Berita
itu dilaporkan berdasarkan riset kepustakaan geolog Forbes Wilson asal Freeport
Sulphur Company yang berpusat di Louisiana Amerika Serikat dari penemuan Dozy
sudah lama terlupakan dan teronggok berdebu di Universitas Leiden. Kemudian
laporan penelitian itu ditunjukkan kepada Direktur East Borneo Company, Jan
Van Gruisen. Gruisen kaget dan tertarik pada laporan penelitian itu setelah
dibacanya, walupun sudah teronggok berdebu. Maka, pada tanggal 1 Februari 1960
kedua pimpinan perusahaan ini berusaha meneken perjanjian atau kontrak karya.
Namun tidak berhasil karena kondisi politik Indonesia pada waktu itu sedang
mengalami berbagai gejolak. Ini pertanda bahwa walau dominasi Freeport atas
gunung emas baru dimulai sejak tahun 1967, namun kipranya dinegeri ini ternyata
sudah dimulai beberapa tahun silam. Untuk menambah kekuatan militer Indonesia
dalam persengketaan dengan Belanda, pada bulan Desember 1960 Jenderal A.H.
Nasution pergi ke Moskow Uni Soviyet, dan akhirnya berhasil mengadakan
Perjanjian jual-beli senjata dengan Pemerintah Uni Soviyet. Karena Indonesia
masih tetap bersikeras menguasai dan menyerang Papua, maka Belanda kemudian
mulai mempercepat program pendidikan demi mempersiapkan kemerdekaan serta
mencetak sumber daya manusia bagi masa depan Papua.
Kemajuan pelaksanaan program pendidikan selanjutnya dilaporkan kepada
PBB periode 1950-1960. Setelah berhasil mencetak sumber daya manusia pribumi
Papua sebanyak-banyaknya, maka pada tanggal 9 Januari 1961 Belanda menggelar
Pemilu untuk memilih wakil rakyat dalam pemerintahan Papua, yang diberi nama
Dewan Papua (Niew Guinnea Raad). Dewan terpilih dilantik oleh Gubernur
Plattel pada tanggal 1 April 1961, yang dihadiri dan disaksikan oleh perwakilan
dari beberapa negara, seperti Australia, Britania Raya, Perancis dan Selandia
Baru. Amerika Serikat juga turut diundang, namun tidak mengindahkan undangan
kenegaraan tersebut. Kabinet dan perangkat negara pun disusun dan dilengkapi,
serta dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Desember
1961. Upaya Pemerintah Kerajaan Belanda mendirikan negara Papua itu mendapat
tanggapan negatif dari Presiden Soekarno, maka pada tanggal 19 Desember 1961
beliau mencetuskan kebijakan nasional yang disebut Tiga Komando Rakyat
(Trikora), yang berbunyi : (a). Gagalkan pembentukan negara boneka Papua
buatan kolonial Belanda. (b). Kibarkan Sang Saka Merah Putih diseluruh Irian
Barat. (c). Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan bangsa
dan kesatuan tanah air Indonesia.
Maklumat Trikora dicetuskan bagi kepentingan aneksasi Papua kedalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk merealisasikan dan
mengaplikasikan kebijakan Trikora, Presiden Soekarno segera membentuk sebuah
badan militer bernama Komando Mandala dan mengangkat Mayor Jenderal TNI
Soeharto sebagai Panglima. Pada awalnya Amerika Serikat tidak mendukung
penyerahan wilayah Papua ke tangan Indonesia karena Bureau of European Affairs
di Washington DC menganggap hal ini akan menggantikan penjajahan oleh kulit
putih dengan penjajahan oleh kulit coklat, Namun, pada bulan April 1961 Roberth
Komer dan Mc George Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan
bahwa penyerahan kepada Indonesia berjadi secara legal. Meskipun ragu, Presiden
John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim perang dingin saat itu
dan kekhwatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pada pihak komunis Uni
Soviyet bila tidak mendapatkan dukungan Amerika Serikat. Karena kekhwatiran
bahwa pihak komunis akan menuai keuntungan dalam konflik ini, maka Amerika
Serikat mendesak Pemerintah Belanda untuk segera berunding dengan Indonesia.
Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York Agreement tanggal 15
Agustus 1962. Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy mengancam Belanda akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian
Barat.
Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun
kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat perang dunia II terpaksa
mengalah dan mundur dari Irian Barat. Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu,
jika gunung Erstberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab
jika saja Belanda mengetahui fakta sesunggunya, maka nilai bantuan Marshall
Plan yang diterimanya dari Amerika Serikat tidak apa-apanya dibandingkan
dengan nilai emas yang ada digunung tersebut. Pemerintah Australia yang awalnya
mendukung kemerdekaan Papua, juga kemudian mengubah pendiriannya mendukung
pencaplokan Papua kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi,
jelas bahwa ini cuma akal-akalan atau kleptomaniak Amerika Serikat saja atas
kekayaan alam Papua. Semua ini merupakan rencana yang disusun Amerika Serikat
dalam rangka ekspansi Industri Pertambangan Freeport. Konon Bung Karno tidak
menginginkan konflik Papua berakhir dimeja perundingan. Keberhasilan aksi
Trikora yang dimotori Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal TNI Soeharto,
serta diplomasi atau perundingan New York Agreement tanggal 15 Agustus
1962, membuat berakhirnya persengketaan Belanda dan Indonesia atas status
politik tanah adat Papua. Melalui dua jalur penyelesaian konflik dalam dan luar
negeri itulah, tanggal 1 Mei 1963 Papua Barat berhasil direbut atau dicaplok
secara ilegal oleh kolonial Indonesia.
Dikatakan ilegal karena dalam New York Agreement tanggal 15
Agustus 1962 PBB mengatakan bahwa keputusan mengenai status politik Papua baru
bisa final setelah digelarnya PEPERA tahun 1969. Dalam tahun yang sama, yakni
tanggal 22 November 1963 Presiden
Amerika Serikat, John F Kennedy ditembak saat bersama istrinya di mobil kap
terbuka. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada
Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini
jelas harus dihentikan! Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika
Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan
menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut
kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan
politik di Amerika. Jadi jelas bahwa, semasa hidupnya Presiden John F. Kennedy
seluruh kebijakan Soekarno, terutama dalam persengketaan dengan Belanda yang
hendak mendirikan negara Papua Barat. Disamping itu, Rezim Pemerintahan Orde
Baru dalam prakteknya ada sisi kebaikan. Terbukti tahun 19 enam satu ketika
Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan baru tentang kontrak perminyakan yang
mengharuskan enam puluh persen labanya diserahkan kepada pemerintah Republik
Indonesia. Kebijakan ini sepertinya mengandung unsur pembatasan masuknya
investor asing ke Indonesia. Menurutnya, pemodal asing diperkenankan masuk
bilamana kualitas sumber daya manusia telah siap, agar dapat mengelolahnya
sendiri.
B. Kepentingan Ekonomi Politik Amerika dan
Rezim Militeristik Orde Baru
Setidaknya ada dua kepentingan besar
Amerika di Indonesia sejak awal transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pertama,
Amerika berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu,
yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke
pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika melalui
perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan,
memperluasnya. Atau dengan kata lain Amerika terlibat secara langsung untuk
menghancurkan PKI dan menyingkirkan Soekarno dari tahta kepresidenan. Untuk
mencapai dua misi itu, Amerika punya kepentingan untuk: satu,
menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang
kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia; dua,
menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan
kepentingan barat. Setelah Amerika mengeksploitasi Gerakan 30 September sebagai
justifikasi untuk menyingkirkan PKI sekaligus terlibat dalam mendanai,
mengoperasikan dan mengintensifkan pembamtaian missal terhadap warga pro PKI,
maka media Telegram Kedubes Amerika tanggal 2 November 1965 mengabarkan,
“negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan
PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya. Negara-negara
barat khawatir, selama Soekarno masih berkuasa, Angkatan Darat akan sulit untuk
melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan Amerika dan
sekutunya. Untuk itu, pejabat Amerika Serikat mulai memikirkan untuk bagaimana
membantu TNI Angkatan Darat menyingkirkan Soekarno. Salah satu aksi paling
efektif yang dilancarkan Amerika dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno
adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang
ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan
mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer
dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Perang ekonomi itu cukup efektif. Di
awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini dipakai oleh TNI Angkatan
Darat dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga
dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno. Yang paling ironis, sekaligus
benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia,
yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan
kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral
Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda. Ironisnya, Menteri
Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan
Amerika yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini membuat soekarno
benar-benar terjepit. Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi
mahasiswa kanan yang disokong oleh TNI Angkatan Darat dan didanai Amerika atau
sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga akhirnya
kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966. Ini semuanya adalah
skenario Presiden Johnson yang menggantikan John F. Kennedy. Ia mengambil sikap
yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan
ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di
belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden
Amerika tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan
direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas
Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang
membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Soekarno pada tahun 1961 memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya
diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga
operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno
ini. Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dan pemimpin
Texaco, yang membawahi Caltex, ia juga chairman Presbyterian Hospital Board dan
Penasehat CIA di kepresidenan Amerika untuk masalah luar negeri.. Augustus
C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini
disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long
juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua
kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat
ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA. Lisa Pease dengan cermat
menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long
pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini
dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”.
Pada bulan Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical
Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long
diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk
masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan
operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh
yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan Amerika dengan
menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our
Local Army Friend. Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia
dikelola oleh anak bangsa sendiri.
Sebuah arsip di Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim
dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi
perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang pro-pemodal asing, datang ke sana
menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan
Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan
seperti itu. Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat
menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua.
Namun Soekarno menolak secara halus. “Saya sepakat dan itu tawaran menarik.
Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” Soekarno berencana modal asing baru masuk
Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia
tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia masih
memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh karenanya sebagai
persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.
Suharto, sebagai komandan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disaat
memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI Soekarno boleh saja membuat tembok
penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Usaha pihak
luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat!
Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1964, seorang peneliti diberi akses untuk
membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat
dari duta besar Pakistan di Eropa.
Dalam surat per Desember 1964,
diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan
bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Lisa menjelaskan
maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai
komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai
Komunis Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan. Telegram
rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat
dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Salah
satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul
21.48, yang menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi dan pejabat Angkatan
Darat Indonesia membahas rencana darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal.
Namun kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih
jauh dari rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc
Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Soeharto
diberikan mandat dengan dikeluarkannya Supersemar untuk mengatasi keadaan oleh
presiden Soekarno, maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka
pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai “G-30/S-PKI” dan
disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September oleh pro-Soekarno.
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia
berubah total.
Terjadi kudeta yang telah
direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu
disalahartikan. Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk
mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru
menjadikannya menjadi seorang presiden. Akhirnya pada awal November 1965, satu
bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang
dikenal juga sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang
menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di
Irian Barat?” Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno
yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel
pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih
berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan
hingga 1967, lalu dari mana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan
jatuh ke tangan Freeport? Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai
kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Oleh karenanya,
usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit
Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan
dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo . Namun pada saat penandatanganan
kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia
selanjutnya yaitu Ir.
Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk
perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius
Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai
penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Dalam bisnis ia menjadi pelopor
dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya,
antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter dan Gambler (Inggris), PT
Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia.
Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena
dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka. Segera setelah kendali
kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, Amerika dan sekutunya mulai
merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk
mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967,
disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak
negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank
Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata
kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan
barat. Dalam penyusunan UU PMA, misalnya, Amerika mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo
Nitisastro, seorang ekonom pro-barat, untuk menyusun UU tersebut. Setelah
selesai, draftnya diserahkan ke Kedubes Amerika untuk dimintai komentar akan
perlunya perbaikan-perbaikan dari pihak investor Amerika. Lalu, untuk menguji
kesetiaan rezim baru Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang
beroperasi di Papua sebagai ujian pertamanya. Sebagai bukti adalah dilakukannya
pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU NO
1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di
Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan
tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan
asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto untuk mengeksploitasi
tambang di Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian
itu ditandatangani. Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware,
Amerika pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah
Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Penandatanganan bertempat
di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri
Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden
Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak
perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini. Penandatanganan kontrak kerja
dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut
disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall
Green. Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar
penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada
Desember 1967. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Namun
yang jadi aneh adalah mengapa Kontrak Karya tersebut baru diberlakukan tahun
1973 sejak diresmikannya eksplorasi tambang Freeport bersamaan dengan perubahan
nama Irian Barat menjadi Irian Jaya sesuai PP No. 5 Tahun 1973 tertanggal 1
Maret 1973. Pada hal sebelumnya, pada tahun 1972 Indonesia telah mengapalkan
konsentrat tembaga ke Jepang. Mengapa tidak mulai diberlakukan sejak tahun
1967. Dengan demikian, Kontrak Karya ini ilegal atau cacat hukum. Begitu juga,
perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dikategorikan tidak absah, karena
tidak ditetapkan dengan UU, namun hanya dengan PP saja. Kontrak Karya dikatakan
ilegal atau cacat hukum dapat terbukti dari hal-hal sebagai berikut:
1. Belum Ada Pelepasan Tanah Adat. Sebelum
Kontrak Karya dilaksanakan, seharusnya didahului oleh pemberian Pelepasan Tanah
Adat dari pemilik hak ulayat, sebab hal ini merupakan langkah awal dari suatu
perjanjian. Masa konsesi (ijin menambang/membuka hutan lindung) selama 30 tahun
yang Indonesia berikan kepada pihak Freeport tidak terdapat unsur keabsahan,
berhubung pemilik hak ulayat belum pernah memberikan Pelepasan Tanah Adat yang
seharusnya digelar sebelum Kontrak Karya pertama tahun 1967, entah yang
berstatus izin pinjam pakai, hak guna tambang ataupun hak pakai lokasi dan
sebagainya. Seperti halnya Pelepasan Tanah Adat sebagai dokumen tertulis
mengenai pemberian konsesi dari pemilik hak ulayat, PT Freeport sebagai Badan
Usaha Milik Negara juga belum memenuhi kriteria berdasarkan Undang-undang
Negara Republik Indonesia.
Hal ini disebabkan karena Freeport
sampai saat ini terbukti belum melengkapi Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Lindung dari Kementerian Kehutanan. Pasal 38 Undang-undang Kehutanan
menyebutkan bahwa „penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan harus
mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung dari Menteri Kehutanan“.
Operasi ekplorasi tambang tembaga dan emas yang dilakukan oleh PT Freeport
Indonesia selama ini ternyata belum dilengkapi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Lindung yang seharusnya dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
Karena, sesuai prosedur dan mekanisme, dokumen seperti itu merupakan salah satu
kriteria masuknya sebuah sektor industri ke kawasan hukum adat tertentu.
Operasi PT Freeport itu dilakukan pada daerah tambang terbuka Grasberg seluas
584 hektar dan daerah timbunan penutup seluas 580 hektar. PT Freeport sebagai
salah satu dari 26 perusahaan yang bergerak dibidang tambang dan merupakan
Badan Usaha Milik Negara secara nyata-nyata telah melanggar peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia dan tentunya menimbulkan kerugian negara
akibat penggunaan hutan tanpa izin tersebut.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia selama ini bahwa kehadiran Freeport memicu potensi
kerugian negara yang mencapai RP. 90,6 milyar dan 38.000 dolar Amerika. Belum
lagi kerugian yang berakibat pada eksistensi Masyarakat Hukum Adat Papua selaku
pemilik atau pewaris lokasi penambangannya. Indonesia dan Amerika
Serikat perlu
mengetahui bahwa Freeport yang tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Lindung tersebut telah tercatat sebagai salah satu contoh buruk operasi sektor
pertambangan di Indonesia. Kedua sektor ini melakukan eksploitasi pertambangan
hanya didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 yang diperkuat dengan Undang-Undang
Pokok Agraria 1960 dan UU No. 11/1967
tentang Pertambangan. PT Freeport tidak berdalih bahwa operasi mereka dilakukan
berdasarkan Kontrak Karya, karena Freeport adalah salah satu dari 13 perusahaan
tambang yang mendapat izin untuk melakukan aktivitas tambang terbuka
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
NO. 41 tertanggal 13 Mei tahun 2004.
Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia menggunakan empat langkah perundang-undangan untuk menekan operasi PT
Freeport yang belum memenuhi ketentuan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini. Bahkan pihak Kementerian Kehutanan telah melayangkan dua kali teguran
tertulis kepada PT Freeport atas aktivitasnya yang tanpa memiliki Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Lindung. Perbuatan itu merupakan bentuk pelanggaran dengan
ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda paling banyak 5 milyar. Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia agar mencabut keistimewaan PT Freeport atas Izin
Pinjam Pakai Hutan Lindung di Papua Barat. Pengkampanye tambang WALHI, Pius
Ginting mengatakan pemberian keistimewaan terhadap PT Freeport telah melanggar
aturan soal pengelolaan sumber daya alam.
2. Tidak Pernah Melibatkan Pemilik Hak Ulayat. Pemilik
modal PT Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia melakukan penandatanganan
Kontrak Karya demi kepentingan politik ekonominya, tanpa mengikut-sertakan atau
melibatkan orang asli Papua sebagai pemilik hak atas tanah adat. Menurut Victor
F. Yeimo, dalam kumpulan materi fokus Komite Nasional Papua Barat (KNPB),
perjanjian Kontrak Karya Freeport McMoRan yang dilaksanakan pada tahun 1967,
merupakan contoh nyata kongkalingkong (persekongkolan) Indonesia dan Amerika Serikat,
karena wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi.
Pengalaman yang sama pernah terjadi tahun 1962, yakni semenjak diadakannya
Perjanjian New York Agreement dan Perjanjian Roma Agreement yang membahas
mengenai hak penentuan nasib sendiri (self determination) yang juga tidak
melibatkan orang asli Papua Barat sebagai pemilik dan pewaris Negeri Burung
Cenderawasih Papua Barat tercinta ini. Dalam kedua perjanjian tersebut
ditentukan bahwa Indonesia diperbolehkan menduduki tanah adat Papua Barat
selama 25 tahu, terhitung 1 Mei 1963 hingga 1988. Kalau demikian, Kontrak Karya
pertama yang dibuat tahun 1967 harus sesuai dengan kurun waktu tersebut. Namun
nyatanya hal ini diabaikan, dimana masa konsesi Freeport telah melebihi 9
tahun, yaitu sampai tahun1997. Denise Leith (2003) dalam bukunya, The Politics
of Power: „Freeport in Soeharto,s Indonesian“ mengemukakan, pertarungan dan
hubungan erat antara elit politik Indonesia dan Amerika Serikat Dalam Operasi
pertambangan Freeport. Jalinan antar elit itu tampak dalam upaya pembuatan
Kontrak Karya baru (kedua) pada tahun 1991 yang mengandung upaya pembagian
(share) saham Freeport dengan beberapa pengusaha yang dekat dengan pusat
kekuasaan di Jakarta dan Washington waktu itu. Dalam jalinan kekuasaan
tersebut, Masyarakat Hukum Adat Koteka selaku pemilik hak ulayat sangat
terlupakan atau tidak diikut-sertakan dalam penetapan kebijakan. Kesemuanya
hanya karena Papua Barat pernah dan masih menjadi sengketa Internasional.
Dengan tidak diikut-sertakannya pemilik hak ulayat dalam perjanjian Kontrak
Karya, maka gugatan ini tergolong sebagai gugatan perbuatan melawan hukum,
Mengapa? Karena tidak ada hubungan kotraktual antara pihak yang menimbulkan
kerugian dan pihak yang menjadi korban kerugian tersebut. Hal ini sesuai
peraturan atau Undang-undang tentang perjanjian.
3. Digelar Sebelum PEPERA 1969. Secara politis,
penandatanganan Kontrak Karya tidak pantas atau tidak layak dilakukan pada
tahun 1967 atau dua tahun sebelum pelaksanaan Penyatuan Pendapat Rakyat (Act of
Free Choice). Karena, sebelum PEPERA digelar, status tanah Papua Barat secara
de yure masih ditangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan belum diserahkan kepada
Indonesia. Sementara itu, dalam perspektif hukum adat penduduk pribumi, sejak
masuknya Pemerintah Hindia Belanda bersama Misionaris Barat hingga digelarnya
PEPERA 1969, status Papua Barat masih dalam kategori tanah adat. Bagi orang
Amungme dan Papua Barat pada umumnya, pemberian wilayah Kontrak Karya kepada
Freeport pada tahun 1967 oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah suatu
tindakan yang tidak tahu malu dan tidak fair. Karena, pada saat itu wilayah
Papua Barat belum diputuskan, bahkan ditetapkan sepenuhnya menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
karena masih harus menunggu dua tahun lagi untuk melakukan plebisit (Act Free
of Choice) pada tahun 1969. Alasan politik dibalik permufakatan kedua belah
pihak elit kleptokrasi ini adalah semangat „Indonesia Raya“ dibawah kekuasaan
Jenderal TNI Soeharto tang berharap masuknya Freeport ke kawasan hukum adat
Papua Barat sebelum PEPERA 1969 bisa memperkuat posisi Indonesia dalam merebut
negeri yang kaya-raya ini. Sementara bagi pihak Freeport (Amerika Serikat),
mendukung pencaplokan Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
lebih jelas menguntungkan, ketimbang jika tetap berada ditangan Kerajaan
Belanda. Karena, Amerika Serikat tidak memiliki kepastian untuk mengekploitasi
kekyaan alam di Papua Barat, bila Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 1
Desember 1961 telah terealisasi.
4. Kesalahan Dalam
Penandatanganan. Dalam buku Menggugat Ekspansi
Industri Pertambangan Indonesia terbitan Lembaga Alam Tropika Indonesia
(LATIN), dijelaskan bahwa Amerika meminta imbal balik kepada Jenderal TNI
Soeharto atas jasanya dalam membantu Pangkostrad pada masa itu untuk mencongkel
rezim Soekarno. Imbal balik tersebut direalisasikan oleh Soeharto pada tahun
1967 dengan merekomendasikan, merestui serta menyetujui Kontrak Karya Freeport
Indonesia Company untuk melakukan eksplorasi serta eksploitasi emas dan tembaga
di Papua Barat. Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga
menyimpulkan bahwa penandatanganan Kontrak Karya antara PT Freeport dan
Pemerintah Republik Indonesia adalah cacat hukum. Kontrak Karya semacam itu
seharusnya ditandatangani oleh Ir. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia,
sebab Jenderal TNI Soeharto sebagai penandatangan pada saat itu belum resmi
menjadi Presiden (karena belum dilantik). Bahkan saat itu ia hanya sebagai ketua
Presidium Kabinet tahun 1967.
Selain itu Kontrak Karya yang
ditandatangani pada tahun 1967 dengan masa konsesi 30 tahun ini mulai
diberlakukan sejak tahun 1973 saat PT Freeport diresmikan oleh Presiden
Soeharto sampai dengan tahun 2003. Inikan agak aneh sekali, mengapa masa
berlakunya baru dihitung sejak tahun 1973, pada hal sejak tahun 1972 Freeport
telah mulai mengapalkan tambang tembaga ke Jepang. Dalam Policy Paper
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) edisi Juli 2006 tentang „Freeport
dan Extra Obligation“ mengutarakan, Rezim Militeristik Orde Baru mendukung
upaya investasi Freeport di Papua melalui dua produk hukumnya, yakni
Undang-undang NO. 1/1976 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan Undang-undang
NO. 11/1976 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
Inilah dasar bagi penandatanganan
Kontrak Karya pertama tertanggal 7 April 1967 yang berlaku selama 30 tahun,
terhitung sejak aksplorasi Erstberg pada bulan Desember tahun yang sama.
Mohammad Sadly, salah seorang anggota Kabinet Soeharto mengatakan, melalui
ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh
dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa
ekonomi terbesar dan terkuat di dunia, yakni Amerika Serikat. Disamping
penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi rezim Orde Baru merupakan
faktor terpenting pemicu pemberian jalan kepada PT Freeport Indonesia untuk
beroperasi di Papua Barat, pada hal studi kelayakan proyek ini selesai dan
disetujui pada Bulan Desember 1969. Pemberian wilayah Kontrak Karya kepada PT
Freeport dan proses pembuatan Undang-undang NO. 1/1976 tentang Penanaman Modal
Asing itu mendorong kecurigaan bahwa Undang-undang ini dibuat memang untuk
memfasilitasi Freeport yang sudah sejak lama sangat berminat terhadap kekayaan
alam dikawasan hukum adat Papua. Minat Freeport itu segera dipenuhi setelah
Soeharto berkuasa, ketimbang dimasa Soekarno sangat sulit terwujud karena
politik anti baratnya. Kecurigaan ini bertambah kuat dengan adanya dugaan yang
sangat kuat mengenai Pemerintah Amerika Serikat dalam proses pengalihan
kekuasaan (suksesi) dari Rezim Orde Lama (Soekarno) kepada Rezim Orde Baru
(Soeharto) seperti terutara diatas. Dengan kata lain, Undang-undang NO. 1/1976
dan Kontrak Karya untuk Freeport yang penuh dengan kemudahan intensif bagi
modal asing merupakan „bayaran“ pertama yang diberikan Soeharto kepada pihak
Amerika Serikat, katakanlah semacam „balas jasa“. Karena telah menolong
Indonesia menduduki Papua Barat dan mengklaimnya sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kesalahan atas implementasi masa berlaku. Kontrak Karya yang sebelumnya
ditandatangani pada tahun 1967 baru diberlakukan tahun 1973, yaitu sejak
diresmikannya eksplorasi tambang Freeport bersamaan dengan perubahan nama Irian
Barat menjadi Irian Jaya sesuai PP No. 5 Tahun 1973 tertanggal 1 Maret 1973.
Pada hal sebelumnya, pada tahun 1972 Indonesia telah mengapalkan konsentrat
tembaga ke Jepang. Mengapa tidak mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Dengan
demikian, Kontrak Karya ini ilegal atau cacat hukum. Begitu juga, perubahan
nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dikategorikan tidak absah, karena tidak
ditetapkan dengan UU, namun hanya dengan PP saja. Saat ini
aktivitas eksploitasi atau operasi penambangan sedang berjalan sesuai ketentuan
Kontrak Karya kedua yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1991 untuk
jangka waktu (masa konsesi) 30 tahun,
dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Penandatanganan
Kontrak Karya kedua digelar sebelum masa Kontak Karya pertama berakhir, yang
mana harus selesai pada tahun 1997. Jadi masih harus menunggu enam tahun lagi
baru bisa digelar, berarti tidak sesuai dengan ketentuan masa konsesi Kontrak
Karya pertama.
Kalau Pemerintah Republik Indonesia
dan Freeport jauh hari sebelumnya secara terburu-buru membuat Kontrak Karya
baru (kedua) yang tidak tepat waktu ini, ada unsur apa dibalik itu yang sengaja
dirahasiakan. Mengenai jangka waktu atau masa kontrak ini, terbukti tidak
sesuai atau melanggar keputusan yang telah ditetapkan. Dalam pasal 5 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 75 Tahun 2001 tentang perubahan
kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
telah diatur juga mengenai jangka waktu izin pertambangan. Dalam peraturan itu
ditentukan bahwa, jangka waktu konsesi paling lama adalah 5 tahun. Namun
Kontrak Karya Freeport melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang tersebut. Dalam aplikasinya, terjadi kecurangan terhadap
perangkat peraturan perundang-undangan diatas, berhubung jangka waktunya
ditarik sampai 30 tahun. Dengan demikian Kontrak Karya kedua inipun cacad hukum
atau mengandung unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Kontrak Karya kedua juga
sangat tertutup dan rahasia, karena tidak melalui konsultasi dengan komunitas
masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
Buletin Wene edisi 01/2006
mengemukakan empat kegagalan dan kejanggalan dalam operasi penambangan PT
Freeport sebagai berikut: Pertama, masuknya perusahaan raksasa ini tidak
melalui sebuah proses perjanjian yang tidak melibatkan masyarakat hukum adat
setempat (pemilik hak ulayat), tetapi hanya pihak pemerintah dan investor saja.
Kedua, penguatan keamanan sekitar areal investasi, yang mana tujuan dari
penguatan ini sekaligus sebagai bisnis militer negara dan dengan dalih
mengantisipasi gangguan keamanan akibat rasa tidak puas masyarakat hukum adat
atas tidak terlibatnya mereka dalam penandatanganan Kontrak Karya. Ketiga,
menciptakan konflik antar masyarakat dengan berbagai dalih, sekadar mengalihkan
perhatian masyarakat, dengan demikian Freeport dengan leluasa melakukan
eksploitasi sumber daya alam. Keempat, intervensi pihak investor dalam
membentuk badan lembaga adat, dan sekaligus duduk sebagai donatur tetap.
(Penulis adalah Pegiat Hak-hak Masyarakat Huklum
Adat Koteka Papua Barat)
SUMBER:www.umaginews.com
kepada smua pengemar togel yg ingin marasakan nama nya kemenangan 2d 3d 4d
langsun anda hub 0,8,2,3,3,3,3,1,4,9,4,7, bliu,ki,wijaya
dn angka di brikn td 1291 sahh alhamdulilah sya mnang 359jt
silakan anda buktikn sediri,,
terima kasih
wassalam
kepada smua pengemar togel yg ingin marasakan nama nya kemenangan 2d 3d 4d
langsun anda hub 0,8,2,3,3,3,3,1,4,9,4,7, bliu,ki,wijaya
dn angka di brikn td 1291 sahh alhamdulilah sya mnang 359jt
silakan anda buktikn sediri,,
terima kasih
wassalam