Press Release.
Adalah tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima berbagai rekayasa konflik yang telah dan sedang dimainkan oleh Negara Indonesia dan para sekutunya melalui sistem-sistemnya di Tanah Papua. Ada dua bentuk rekayasa, yakni rekayasa positif dan rekayasa negatif. Negara Indonesia dan para sekutunya sudah lama menggunakan rekayasa negatif di Tanah Papua hanya untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata.
Rekayasa politik kotor pertama dan terutama yang dilakukan negara Indonesia dan para sekutunya adalah menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI. Rekayasa politik kotor Negara Indonesia itu didukung penuh oleh kepentingan ekonomi Amerika Serikat. RI merekayasa hak kepemilikan tanpa disetujui oleh pemilik hak ulayat melakukan MoU antara RI dan AS tentang Pembukaan Tambang PT Freeport di Timika - Papua Barat pada tahun 1967. MoU illegal ini ditanda tangani dalam rangka mewudkan upaya NKRI untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat yang cacat hukum dan cacat moral yang digelar pada tahun 1969.
Rekayasa politik kotor RI diperkuat dengan rekayasa (manipulasi) kepemilikan atas PT Freeport di Timika untuk kepentingan ekonomi AS. Mulai sejak itu, Papua Barat telah menjadi Arena Rekayasa Kasus di atas Rekayasa Kasus. Konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua adalah untuk mempertahankan rekayasa politik aneksasi Papua ke dalam NKRI dan rekayasa dalam rangka mempertahankan /mencapai kepentingan ekonomi. Karena itu pantaslah kita menyebut negara Indonesia sebagai Raja Rekayasa Kasus untuk melindungi dan mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata.
Berbagai kekerasan di atas kekerasan yang tidak ada ujung pangkalnya yang sudah lama tumbuh subur di Tanah Papua adalah bukti bahwa RI tidak mampu meng-indonesia-kan rakyat bangsa Papua ke dalam NKRI. Ketidak-mampuan itu tercermin dalam berbagai kekerasan demi kekerasan yang direkayasa sedemikian rupa oleh negara Indonesia melalui sitem-sistemnya yang didukung oleh para sekutunya. Dari awal tanah Papua Barat direbut dengan merekayasa (manipulatif), maka langkah-langkah yang ditempuh oleh RI untuk mempertahankan tanah Papua dalam NKRI pun dengan berbagai bentuk rekayasa (manipulatif) pula.
Rakyat bangsa Papua sudah tahu dari sejak awal RI merebut Tanah Papua bahwa Papua Barat dan Indonesia memang beda. Perbedaan itu nampak dalam pandangan ideologi, sosial budaya, letak geografis, dan lain sebagainya. Sangat tidak mungkin ketidak-samaan dalam berbagai hal itu bersatu di bawah bingkai NKRI. Rekayasa demi rekayasa (manipulatif) itu tidak mematahkan semangat juang dari rakyat bangsa Papua untuk berdaulat penuh.
Indonesia tidak sadar bahwa rekayasa kasus demi kasus yang sedang diterapkan di tanah Papua itu justru menumbuhkan nasionalisme Papua Barat, membangkitkan semangat perjuangan pembebasan bangsa Papua dari berbagai tirani penindasan RI dan para sekutunya yang sudah lama tumbuh subur di Tanah Papua. Indonesia tidak intropeksi diri bahwa ketika Indonesia menghadapi penjajahan dari negara-negara Kolonial juga mengalami hal-hal serupa. Kini Indonesia sedang menerapkan bentuk-bentuk rekayasa (manipulatif) peninggalan para kolonial itu di Tanah Papua. Dan memang Negara Indonesia paling pintar dari gurunya (para kolonial) dalam merekayasa kasus demi kasus di Tanah Papua. Melalui kasus-kasus rekayasa itu Indonesia dapat menipu para negara-negara kolonial yang mengajarkan bentuk-bentuk rekayasa kotor itu. Negara-negara di dunia dapat tertipu dari kasus-kasus rekayasa (manipulatif) yang sudah dan sedang dilakukan RI di Tanah Papua.
Kini Negara Indonesia melebihi para gurunya (para kolonial) dalam hal merekasa kasus demi kasus untuk meredam gerakan perjuangan bangsa Papua. Ironis memang murid yang baru belajar teori dan praktek rekayasa (manipulatif) dari para gurunya, RI paling lihai dalam menipu sampai para gurunya (para negara-negara kolonial) benar-benar ditipu dan terbuai dengan kelicikan muridnya (Negara Indonesia).
Salah satu kasus rekayasa Negara Indonesia adalah kasus bentrokan antara polisi dan massa rakyat bangsa Papua pada tanggal 16 Maret 2006 di depan Universitas Cenderawasih di Abepura - Jayapura - Papua Barat. Berikut ini pengakuan seorang anggota polisi tentang kasus 16 Maret 2006: Kalian sebenarnya tidak bersalah, kejadian kemarin penguasa Indonesia yang bermain, tetapi kamu jalani saja, demikian pernyataan Polisi Obeth Epa pada tanggal 17 Maret 2006 di Sel Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Polda Papua. Pengakuan Obeth Epa ini disampaikan ketika kami berada di bawah ancaman, intimidasi, penghinaan dan penyiksaan brutal oleh polisi di Sel RUTAN Polda Papua. Saat itu Obeth Epa juga ditahan di Sel RUTAN Polda Papua karena melakukan pelanggaran menembak salah sasaran di mana tembakan dengan menggunakan pistolnya itu mengenai seorang ibu pada saat Brimob dan Dalmas Polisi bergerak menuju ke arah massa untuk membubarkan massa aksi damai secara paksa.
Dari pengakuan anggota Polisi itu saya berusaha menggali informasi lebih banyak tentang aktor-aktor dibalik peristiwa bentrokan 16 Maret 2006. Dari hasil penyelidikan awal yang saya rampung dari berbagai pihak, akhirnya saya menyimpulkan bahwa bentrokan 16 Maret 2006 adalah lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh kaki tangan Negara Indonesia untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua; dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan gerakan
perjuangan pembebasan bangsa Papua.
perjuangan pembebasan bangsa Papua.
Keempat kepentingan Indonesia dan para sekutunya itu benar-benar terwujud pada waktu itu. Tetapi khusus untuk point keempat gagal dipertahankan oleh Negara Indonesia karena perjuangan bangsa Papua tidak dikubur dengan adanya tragedi 16 Maret 2006 dan di atas reruntuhan itu terbangunlah gerakan Papua dari para aktifis muda Papua yang pantang menyerah. Kebanyakan mahasiswa yang dipukul mundur, kini mereka sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk melanjutkan misi penyelamatan bangsa Papua.
Awalnya Negara Indonesia berhasil membangun mosi tidak percaya, tetapi setelah kami membongkar permainan RI dibalik kasus itu dan hal itu dikampanyekan ke berbagai penjuru dunia, maka masyarakat Internasional menekan Jakarta untuk mengubah status kasus yang awalnya digiring ke kriminal murni menjadi tahanan politik. Buktinya pada Bulan Maret 2007 rombongan DPR RI dipimpin Hutasoit datang menemui kami di Penjara Abepura. Hutosoit mengatakan: Kalian sekarang menjadi tahanan politik, bukan tahanan kriminal dan kini kalian menjadi artis-artis Internasional, demikian kata politisi RI itu. Ini membuktikan bahwa kebenaran itu tidak terkalahkan, tetapi pada akhirnya kebenaran itu keluar sebagai pemenang akhir.
Demikian pula, Negara Indonesia telah sekian lama membengkokkan sejarah bangsa Papua dan membungkam gerakan perjuangan bangsa Papua, tetapi pada saat yang tepat sesuai kehendak Tuhan kebenaran itu akan keluar sebagai pemenang akhir. Buku kajian Ilmiah Prof Dr Drooglever tentang sejarah Papua telah membuka tirai kebenaran yang sudah lama terkubur, juga buku-buku sejarah lain yang ditulis oleh orang Papua maupun peneliti lain telah membuka jalan menuju kebebasan total bagi bangsa Papua. Dan entah senang atau tidak senang, entah suka atau tidak suka Negara Indonesia harus menerima kenyataan yang akan terjadi itu bahwa ketika lonceng kemenangan kebenaran itu berkumandang, maka di saat itu pula semua bentuk rekayasa kekerasan RI dan para sekutunya di Tanah Papua akan berakhir.
Silahkan RI dan para sekutunya menanam rekayasa kasus demi kasus di kebun mu, tetapi RI akan memanen hasil pada waktu-Nya. Tergantung Negara Indonesia, apakah terus menerus menciptakan rekayasa kasus demi kasus untuk mempertahankan Papua yang nantinya akan berdaulat penuh, ataukah Negara Indonesia mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB dengan bermartabat, serta selanjutnya mengatur kerja sama antara dua bangsa dan dua negara setara yang saling menguntungkan? Pilihannya kembali kepada negara Indonesia.
Pada peringatan hari tragedi 16 Maret yang ketujuh (16 Maret 2006 - 16 Maret 2013), saya atas nama korban ketidak-adilan menyatakan dan menyerukan dengan tegas bahwa:
1). Negara Indonesia dan para sekutunya STOP dan STOP merekasa kasus demi kasus di Tanah Papua hanya untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata.
2) Masyarakat Internasional jangan sekali-kali percaya dan tertipu dengan berbagai propoganda hitam oleh Negara Indonesia melalui sistem-sistemnya untuk membangun mosi tidak percaya terhadap gerakan perjuangan pembebasan bangsa Papua karena itu rekayasa (manipulatif) Negara Indonesia untuk memperpanjang penindasan bagi orang asli Papua dan mempercepat pemusnahan etnis Papua.
2) Masyarakat Internasional jangan sekali-kali percaya dan tertipu dengan berbagai propoganda hitam oleh Negara Indonesia melalui sistem-sistemnya untuk membangun mosi tidak percaya terhadap gerakan perjuangan pembebasan bangsa Papua karena itu rekayasa (manipulatif) Negara Indonesia untuk memperpanjang penindasan bagi orang asli Papua dan mempercepat pemusnahan etnis Papua.
3). Bagi keluarga korban, khususnya keluarga korban dari tiga brimob dan 1 TNI AU yang dikorbankan oleh Negara Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata, kami mendesak segera memberikan biaya santunan setiap bulan dan biaya pendidikan bagi anak-anak yang ditinggalkannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.
4). Kepada para Rektor/ Ketua pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang ada di Jayapura
segera menerima kembali para mahasiswa/i yang telah putus kuliah akibat tragedi 16 Maret 2006.
4). Kepada para Rektor/ Ketua pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang ada di Jayapura
segera menerima kembali para mahasiswa/i yang telah putus kuliah akibat tragedi 16 Maret 2006.
5). Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua, RI dan negara-negara di dunia serta PBB segera mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure dan mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua dari kepunahan etnis.
Penjara Abepura: Sabtu, 16 Maret 2013.
Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang
TTD
Selpius A. Bobii ,
(Ketua Umum Font PEPERA PB, Juga Tahanan Politik Papua Barat)
0 komentar for "RI, STOP ! REKAYASA KEKERASAN DI PAPUA BARAT"