Jayapura, Senin, 3 September 2012 lalu, secara resmi Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Tito Karnavian, Ph.D diangkat menjadi Kapolda Papua menggantikan Irjen Pol Bigman Lumban Tobing. Serah Terima Jabatan dilangsungkan di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jumat, 21 September 2012 pukul 07.00 WIB bersama Kepala Divisi Humas (Kadiv Humas) dan tiga Kapolda lain. Serah Terima Jabatan (Sertijab) dipimpin langsung oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
Kapolda termuda (47 tahun) di Indonesia itu memimpin Polda Papua yang dianggap wilayah berkategorikan tipe A. Artinya, tingkat gangguan keamanannya tinggi. Itulah mengapa Kapolda baru ini berpangkat inspektur jenderal alias bintang dua.
Apa perintah Kapolri untuk untuk Tito saat serah terima jabatan di Mabes Polri? Seperti dilansirmerdeka.com, Jumat, 21 September 2012, Kapolri Jenderal Timur Pradopo memerintahkan untuk memahami masalah dan melakukan pemetaan dan penindakan. “Saya perintahkan segera pahami tugas, mapping kerawanan yang ada, lakukan langkah penindakan dengan komitmen, tanggung jawab dan integritas,”katanya.
Janji Tito untuk Penyelesaian Konflik Papua
Mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror itu, seusai Serah Terima Jabatan seperti dilansirtempo.co, Jumat, 21 September 2012, mengatakan, ia optimis bisa menjalankan perintah Kapolri Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolda Papua baru. Salah satu cara yang akan digunakan Tito adalah pendekatan untuk meredam pertikaian antar suku dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Toto, seperti dilansir kompas.com, Jumat (21/9/2012), mengaku akan mempelajari seluk beluk konflik yang tak kunjung usai di Papua itu untuk menyelesaikan dari akar masalahnya. Mulai dari kasus yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka, PT Freeport Indonesia, penembakan misterius, hingga kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya.
Seperti dilansir, Metrotvnews.com, 21 September 2012, Tito berjanji akan mengedepankan dialog dengan masyarakat untuk menciptakan situasi keamanan yang kondusif di tanah Papua. Tito juga berjanji akan melakukan langkah kooperatif dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat, serta berupaya melakukan pencegahan,”katanya.
Kompas.com mengutip, menurut Tito akar masalah di Papua adalah konflik kepentingan. Teknik penanganan konflik harus melalui pendekatan ke semua pihak. Tito mengatakan, pihaknya akan mengedepankan dialog untuk mencari solusi terbaik.
“Semua prinsip dasarnya bahwa dalam hal penanganan gangguan keamanan ada langkah preemtif, preventif, dan represif. Dalam penegakkan hukum kita sangat tergantung pada kasus per kasus, kita tergantung pada situasi,” kata Tito seperti dikutip Kompas.
Salah satu ‘rising star’ di tubuh Polri itu tidak menyebutkan prioritas kasus mana yang akan diselesaikannya lebih dahulu. Ia mengatakan, akan mendiskusikan dengan jajaran barunya nanti di Papua. Selain itu, untuk pelanggaran hukum, menurutnya tetap harus ditegakkan melalui jalur hukum. “Saya mendengar sudah ada langkah-langkah yang cukup positif dari Polda untuk penegakan hukum. Sudah ada timnya, sudah dipelajari juga kasusnya. Semua sesuai prinsip-prinsip penegakan hukum,” ujarnya di Kompas.
Mengenal Tito
Irjen Pol Tito Karnavian lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada 26 Oktober 1964. Ia berumur 47 tahun dan memeluk Agama Islam. Tito Karnavian mengenyam pendidikan SMA Negeri 2 Palembang. Tito melanjutkan pendidikan Akabri tahun 1987. Ia menyelesaikan pendidikan di University of Exeterdi Inggris tahun 1993 dan meraih gelar MA dalam bidang Police Studies. Ia juga menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta tahun 1996 dan meraih S-1 dalam bidang Police Studies.
Tito Karnavian juga menyelesaikan pendidikan di Massey University Auckland di Selandia Baru tahun 1998 dalam bidang Strategic Studies. Ia juga mengikuti pendidikan di Nanyang Technological University, Singapura, tahun 2008 sebagai kandidat PhD dalam bidang Strategic Studies.
Karier Tito dalam kepolisian cepat melesat berkat prestasi yang dicapainya. Tahun 2001, Tito yang memimpin Tim Kobra berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra (mantan) Presiden Soeharto. Berkat sukses menangkap Tommy, Tito termasuk polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa.
Tahun 2004, ketika Densus 88 Antiteror dibentuk untuk membongkar jaringan terorisme di Indonesia, Tito Karnavian yang saat itu menjabat Ajun Komisaris Besar (AKBP) memimpin tim yang terdiri dari 75 personel. Unit antiteror ini dibentuk oleh Kapolda Metro Jaya (waktu itu) Irjen Firman Gani. Tito juga termasuk polisi yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa saat tergabung dalam tim Densus 88 Antiteror, yang melumpuhkan teroris Dr. Azahari dan kelompoknya di Batu, Malang, Jawa Timur, 9 November 2005 silam.
Tidak hanya itu, Densus 88 Antiteror juga berhasil menangkap 19 dari 29 warga Poso yang masuk dalam DPO di Kecamatan Poso Kota, 2 Januari 2007 silam. Tito dan sejumlah perwira Polri lainnya juga sukses membongkar konflik Poso dan meringkus orang-orang yang terlibat di balik konflik tersebut.
Ia dianggap otak atas terbongkarnya jaringan terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, termasuk pengepungan teroris di Solo pada 17 September 2009 yang menewaskan empat orang, termasuk satu di antaranya Noordin Moch Top. Kejeniusan Tito dalam mengendus keberadaan Noordin inilah yang membuat Tito akhirnya menjadi orang nomor satu dalam Densus 88, detasemen antiteror Mabes Polri.
Selanjutnya, Tito Karnavian menggantikan Brigjen (Pol) Saut Usman Nasution, yang menjabat Direktur I Keamanan dan Transnasional Bareskrim Mabes Polri. Selang setahun, Tito digeser menjadi Deputi Penindakan dan Peningkatan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Dan, Jumat 21 September 2012 secara resmi menjabat sebagai Polda Papua. Ia (Tito) dianggap memiliki segudang pengalaman di bidang intelijen dan penanganan terorisme.
Dikhawatirkan Represitas Meningkat di Papua
Penempatan orang nomor satu Densus 88 ini di Papua memunculkan aneka pertanyaan dan persepsi. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Panes, Sabtu (16/6) di itoday.co.idmengkhawatirkan di Papua akan terjadi penanganan keamanan dengan pola represif, yang mengedepankan penggunaan senjata. Padahal, yang dibutuhkan Papua saat ini adalah pola-pola penanganan yang persuasif, dialogis, dan pendekatan sosial.
Untuk itu IPW secara tegas menolak upaya elit Polri untuk mengintensifkan Densus 88 di Papua. Sebab, persoalan Papua bukanlah masalah terorisme. Menurut Neta, Polri harus mengedepankan dan memaksimalkan peranan Bimas dan intelijen untuk melakukan deteksi dini dan antisipasi situasi di Papua.
Aksi Densus 88 di Papua, kata Neta, akan mendapat perlawanan sengit dari rakyat Papua. Era DOM Timtim versi baru pun akan terjadi di Papua. Situasi ini bukan mustahil akan dimanfaatkan pihak asing untuk memberi dukungan maksimal pada potensi kekuatan sparatis di Papua, yang ujung-ujungnya Papua akan lepas dari NKRI seperti era Timtim.
Para aktivis Papua Merdeka dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga mempertanyakan, mengapa orang nomor satu Densus 88 itu ditempatkan di Papua? Mereka menganggap masalah Papua adalah masalah politik bukan terorisme. Mereka menilai negara keliru menempatkan Tito di Papua karena dinilai konflik Papua adalah soal nasionalisme.
Seperti dilansir di situs resmi KNPB, knpbnews.com, KNPB mempertanyakan peristiwa peledakan bom yang pertama kalinya di Wamena pada 18 Sebtember 2012 lalu yang bersamaan dengan penempatan Polda baru, Tito.
“Ledakan bom terjadi tepatnya di jalan Irian Wamena kota, perempatan antara jalan Ahmad Jani dan Jalan Irian. Kemudian para korban saat ledakan bom pertama kali di Wamena ini belum diketahui identitas lengkap, dan pemilik rumah pun belum diketahui, dan juga insiden ini apa sebab, dari siapa itu pun belum jelas,”tulis situs KNPB.
KNPB menilai, bom pertama kali di Papua dan aksi-aksi kriminal akan tercipta di Papua untuk kriminalisasi gerakan politik di Papua yang telah lama ada. Seperti dilansir di knpbnews.com, KNPB menilai, ada upaya negara untuk menggiring politik kemerdekaan Papua yang memuncak dan ke tingkat internasional ini ke isu terorisme.
“Karena selama beberapa priode Kapolda Papua yang biasanya dari polisi langsung menjadi Kapolda tidak pernah terjadi ledakan bom seperti kali ini terjadi di Wamena, pada umumnya di Papua,” kata KNPB.
Dicurigai, penempatan Pangdam Cenderawasih dari Kopassus dan sekarang Kapolda Papua dari Densus 88 itu ada kaitan dengan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar. Dalam Harian Media Indonesia, Sabtu, 23 Agustus 2012, Boy mengatakan, jika memang benar ada pihak-pihak yang telah mengakui keterlibatannya dalam beberapa insiden penembakan di Papua, untuk menyerahkan diri.
Kata dia, pelaku belum diidentifikasi berasal dari OPM, tetapi pasti berasal dari kelompok sipil bersenjata. Namun, ia menegaskan Polri masih terus melakukan upaya pengerajaran terhadap pelaku penembakan tidak bertanggung jawab tersebut.
Kekhawatiran dan pesimisme atas pergantian kepala kepolisian daerah Papua yang baru berlatar belakang Densus 88 juga disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk wilayah Papua, Olga Helena Hamadi.
“Melihat latar belakang dia (Irjen Karnavian) mantan Kadensus 88, ini artinya kami pesimis dengan ada pergantian Kapolda seperti ini. Karena pasti (menduga) cara-cara pendekatan yang akan dilakukan masih dengan kekerasan (represif),”kata Olga di Jayapura, Papua, Jumat (7/9).
Berdasarkan pengamatan selama ini, seperti dikuti Media Indonesia, Jumat, 7 September 2012, kata Olga, kinerja Densus 88 banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya dengan melakukan penyisiran, penyiksaan, tangkap paksa dan dilepas begitu saja. Dan, jika inginkan perubahan (masalah keamanan) di Papua, pergantian Kapolda harus melihat situasi dan kondisi yang ada.
“Jelas kami sangat menolak latar belakang dari Densus 88. Kami tahu cara pendekatanya, cara pendekatan kekerasan karena latar belakangnya mempengaruhi kinerja. Jadi jangan terus kemudian ada pergantian tapi tidak menyelesaikan persoalan di Papua,”katanya.
Senada dengan Olga disampaikan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Papua, Rifai Darus. Ia menyatakan kekhawatirannya Papua kembali menjadi “Daerah Operasi Militer” (DOM).
Kekhawatiran ini akibat saat ini para petinggi dilingkungan militer di Papua dijabat oleh institusi tertentu misalnya Pangdam Cenderawasih dijabat dari Kopassus, sedangkan Kapolda Papua dari Densus 88.
“Fenomena ini harus dipertanyakan, ada apa karena dikhawatirkan ada desain tertentu tentang Papua sehingga Papua dinyatakan ada separatis dan nantinya dijadikan DOM,” ungkap Rifai seperti dilansir Tabloidjubi.com.
Kiprah Densus 88 di Papua (yang Dibiayai Australia dan Amerika)
Harian The Sydney Morning Herald dalam laporannya mengatakan Densus 88 menerima jutaan dolar dari Australia setiap tahunnya untuk memerangi kelompok ekstrimis di Indonesia. Densus 88 menerima pelatihan, dukungan perbekalan dan operasional yang luas dari Kepolisian Federal Australia. Namun, dinilai, satuan anti teroris itu terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang dalam upaya menumpas gerakan politik di Papua dan Maluku.
Jurnalis ABC, Hayden Cooper dan Lisa Main, ketika bertemu dengan dua orang di Papua yang mengatakan, Densus 88 yang dibiayai Australia melancarkan kampanye berdarah terhadap para aktivis. Pada tanggal 14 Juni, pemimpin kemerdekaan Mako Tabuni ditembak mati oleh orang yang diduga adalah bagian dari Densus 88.
Walaupun begitu, Wakil Kepala Kepolisian (Wakapolda) Papua, Brigjen Pol Paulus Waterpauw membantah, Detasemen Khusus (Densus) 88 terlibat penembakan Mako Tabuni. “Tidak ada penempatan Densus 88 di Papua. Sejauh ini pihaknya belum mendapat informasi terkait hal itu. Kalaupun ada pasti akan diinformasin dari Mabes Polri,” kata Paulus Waterpauw seperti dilansirTabloidjubi.com, Senin (3/9).
Dia mengaku, memang ada penambahan personil dari luar Papua namun lebih untuk masalah pengamanan. Sementara untuk pengungkapan kasus penembakan hanya dilakukan oleh internal penyidik Polda Papua.
Lebih jauh, Lisa Main menulis, mandat anti terorisme mereka kini meluas ke bidang-bidang lain seperti penumpasan para aktivis Papua dan Maluku. Radio Australia menulis, pada bulan Desember 2010, Densus 88 membunuh Kelly Kwalik, seorang pemimpin OPM. Densus 88 secara terbuka menyatakan bertanggung-jawab.
Dalam laporan Hayden Cooper dan Lisa Main juga menulis, sebuah bocoran video yang muncul tahun lalu menunjukkan polisi setelah mereka merebut kembali sebuah landasan udara yang terpencil dari tangan separatis. Video yang diambil dengan HP oleh polisi itu mengidentifikasi Densus 88 dan sejumlah mayat orang Papua tergeletak di tanah, termasuk gambar beberapa remaja yang diikat dengan tali. Dan menurut saksi mata, tulisnya, Densus 88 termasuk di antara aparat yang melepaskan tembakan terhadap warga sipil pada Kongres Nasional Papua.
Atas kiprah Densus 88 di Papua itu, Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, mengatakan telah meminta kepada Indonesia untuk melakukan pengusutan atas pembunuhan Tabuni. Ia mengatakan, Kepolisian Federal Australia melatih satuan Densus 88 karena ingin Indonesia memunyai kapasitas anti terorisme yang kuat, tapi bukan untuk menumpas pemberontakan.
Australia dan Amerika Diminta Awasi Densus 88
Para aktivias kemanusiaan dan Aktivis kemerdekaan Papua menegaskan, Australia dan Amerika sebagai negara donor untuk mengawasi Densus 88 di Papua. Dinilai, konflik di Papua adalah bukan terorisme tetapi gerakan politik. Amerika dan Australia adalah negara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, maka diminta awasi Densus 88 di Indonesia.
Aktivis kemerdekaan Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, mengatakan dalam Program 7:30 Report di saluran televisi ABC bahwa Australia dan Amerika Serikat ikut bersalah atas kematian banyak orang, karena mendanai dan melatih para aktor kekerasan di Papua.
Partai Hijau Australia seperti dikutip Radio Australia mengatakan, Kepolisian Federal sebaiknya berhenti melatih satuan-satuan anti terorisme Indonesia sampai investigasi dilakukan atas pelanggaran HAM di Papua. Juru bicara Partai Hijau mengatakan, tidak ada ‘checks and balances’yang memadai tentang bagaimana pelatihan dan peralatan Kepolisian Australia digunakan. Tapi respon Australia itu tidak cukup bagi para aktivis kemerdekaan Papua.
Pengamat masalah sosial politik Papua, Naftali Edoway, SH kepada media ini, Sabtu, (22/9) mempertanyakan kenapa justru di saat Densus 88 di permasalahkan terkait penembakan terhadap Mako Tabuni, Irjen Pol Tito Karnavian diangkat menjadi Kapolda Papua?
“Saya merasa ini kebijakan negara untuk menekan rakyat kecil tapi juga upaya mematikan gerakan dekmokrasi di Papua. Coba pikir, ia ditempatkan setelah Mako di tembak mati, di situ negara menilai Densus 88 berjasa terhadap negara sehingga kesilmpulan mereka adalah yang pantas bertugas dan beroperasi di Papua kini adalah Densus 88 termasuk si Kapolda itu,” kata Naftali, Dosen isu-isu HAM dan Teologia di Sekolah Tinggi Teologi Wartel Pos Jayapura itu.
Naftali memprediksi, Tito akan menggunakan strategi yang dipelajari dan dipunyai Densus 88 untuk menekan kaum kecil agar suara mereka tak terdengar lagi. “Agar tak ada lagi protes-protes di jalan raya. Dari situ, saya sangat pesimis bahwa keadaan Papua akan aman. Sebab sejarah mencatat, Kapolda ganti Kapolda di Papua tak pernah aman. Skala kekerasan justru bertambah. Apa lagi dia itu latar belakangnya mantan komandan Densus 88 yang benar-benar telah dilatih untuk memburuh. Kebijakannya pasti mengarah ke operasi secara diam-diam dengan lebih memperkuat intelenjennya. Sebab ia sempat berkomentar di media bahwa ia akan pake pendekatan hati dalam menyelesaikan masalah di Papua,” khawatir Naftali.
Naftali juga menilai Australia salah karena kurang pengawasan terhadap kinerja Densus 88 di Indonesia. “Ketika mereka membantu Indonesia seharusnya mereka memperketat pengawasannya karena mereka sudah tahu bahwa ada sejumlah wilayah di Indonesia masih bermaslah dengan Jakarta, termasuk Papua. Makanya, Australia pun harus bertanggungjawab, bila perlu mereka datangkan orang ke Papua untuk awasi Densus dan menginvestigasi kasus mako itu, jangan mereka hanya tekan-tekan Indonesia dari Australia saja. Kalau mereka benar-benar menghargai nilai kemanusiaan,” kata Naftali, pengajar isu-isu HAM dan Teologi Sosial itu. (GE/Yermias/002/MS)
sumber:majalahselangkah.com
0 komentar for "Janji Kapolda Baru dan Kekhawatiran Kekerasan di Papua"