Pada sidang 4 tahunan yang disebut UPR (Universal Periodic Review) di Jenewa Swes dalam salah satu sesinya di gedung PBB, 74 negara mendengarkan laporan Indonesia memberikan laporan periodik masalah peningkatan HAM. Fokus utama yang disorot adalah tindak kekerasan yang kerap dialami oleh pemeluk agama minoritas di Indonesia dan kekerasan di Papua.
Sorotan dunia ke Indonesia tentang Papua tentu bukan tanpa
alasan karena Sejak diberikannya Otonomi Khusus tahun 2001 melalui UU
Otonomi Khusus kepada Papua, Papua masih tidak beranjak dari
ketertinggalan. Konflik senjata terus terjadi yang mengakibatkan
terbunuhnya masyarakat sipil. Belakangan banyak sekali aksi menuntut
dialog Papua-Jakarta yang digulirkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP)
dengan penggagas Pater Neles Tebay dan kawan-kawan.
Seringkali muncul pertanyaan, kenapa Aceh bisa mendapatkan hak
ekslusif untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia (MoU Helsinky)?
Sedangkan ide dialog Papua-Jakarta hingga saat ini masih menjadi wacana
sebagian masyarakat Papua dengan harapan Dialog Papua-Jakarta nanti akan
mengubah nasib kehidupan orang Papua.
Memang rasanya tidak adil untuk membandingkan situasi yang terjadi di
Aceh dan di Papua, sebab bagaimanapun latar belakang budaya dan adat
serta perjuangannya berbeda-beda. Atau mungkin Papua harus menunggu
Tsunami yang membunuh ribuan jiwa masyarakat Papua dahulu baru
pemerintah mau membuka pintu Dialog Papua-Jakarta. Sama-sama wilayah
konflik, sama-sama menginginkan kemerdekaan dan keluar dari lingkaran
NKRI, sama-sama Negara yang kaya akan sumber daya alam, lalu apa yang
membedakan Aceh dan Papua sehingga Aceh boleh mendapatkan MoU Helsinky
sedangkan Papua masih dalam tanda tanya. Apakah karena para pelobi Aceh
diluar negeri lebih baik diplomasinya ketimbang pelobi dan diplomat
Papua diluar negeri, ataukah perlawanan-perlawanan sipil dan militer GAM
lebih baik koordinasinya ketimbang Sipil dan Militer Organisasi Papua
Merdeka (OPM) di Papua.
Dalam sidang tersebut beberapa negara Eropa yang mengkritisi
Indonesia, bahkan salah satu rekomendasinya kepada Indonesia agar
meratifikasi undang-undang perjanjian statuta Roma (Rome Statute).
Statuta Roma telah diratifikasi oleh 108 negara, termasuk Filipina,
Timor Leste, dan Kamboja. Sedangkan Amerika Serikat, Cina, dan Rusia
menolak statuta itu.
Perjanjian tersebut didasari untuk dapat membawa pelaku pelanggaran
HAM di Indonesia ke pengadilan pidana internasional di Belanda untuk
kriminal dasyat seperti genosida, kejahatan kemanusiaan dan perang.
Namun Indonesia mengabaikan sorotan negara-negara anggota HAM PBB
yang telah merekomendasikan agar secepatnya meratifikasi statuta Romas.
Target pemerintah molor hingga empat tahun, untuk meratifikasi Statuta
Roma. Terakhir, pemerintah menargetkan ratifikasi selesai pada 2013. Hal
tersebut disampaikan oleh Bhatara Ibnu Reza dari Koalisi Masyarakat
Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional.
Pada tanggal 23 November 2000 berlaku Undang-undang No.26/2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini mengatur
penyelesaian yudisial dua kejahatan internasional yang tidak diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida. Kejahatan yang di dalam
undang-undang itu disebut sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia
(pasal 7). Di dalamnya pula dimungkinkan pengadilan menyeret pelaku
kedua kejahatan ini jika dilakukan sebelum undang-undang tersebut
berlaku.
Di aras internasional, kriminalisasi atas kejahatan ini sudah berlangsung lama dan mengkristal [atau dalam bahasa hukum – terkodifikasi]
dalam Statuta Roma, yang berlaku efektif 1 Juli 2001. Sebagai sebuah
perjanjian internasional, keberlakuannya dalam sebuah negara
menggantungkan pada ada-tidaknya ratifikasi. Sampai saat ini, Indonesia
belum melakukannya. Sekalipun demikian, jika membandingkan dengan cara
memindai (scanning) kedua peraturan bersangkutan, dengan mudah
orang akan berkesimpulan bahwa kedua peraturan tersebut sebanding.
Demikian pula klaim para perumus undang-undang nasional tersebut yaitu
bahwa UU Pengadilan HAM mengadopsi secara keseluruhan pada Statuta Roma.
Tentu klaim itu bukan tanpa dasar. Akan tetapi jika ditelisik lebih
dalam hasilnya tak sehitam-putih kesimpulan diatas. Sekedar contoh
Statuta Roma tetap menganut prinsip non- retroaktif. Keunikan
undang-undang tersebut sebenarnya melampuai batasan uraian di atas.
Itulah salah satu alasan dari berbagai kumpulan tulisan ini: melakukan
studi komparatif atas kedua peraturan tersebut – dengan fokus mengkaji
sejauh mana UU Pengadilan HAM didisain menurut standar internasional.
Hingga kini, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
dihadapkan ke pengadilan ini, yaitu pengadilan atas kasus Timor Timur
(1999), peristiwa Tanjung Priok (September 1984) dan peristiwa Abepura,
Papua Barat (2000). Dua kasus pertama digelar melalui pembentukan
Pengadilan HAM Ad Hoc.
Sedangkan peristiwa Abepura diproses melalui pengadilan HAM permanen.
Dua model yang dimungkinkan oleh pengadilan HAM. Masih banyak pula
kasus
pelanggaran serius hak asasi peninggalan rezim otoriter Orde Baru
yang belum diselesaikan, di antaranya pembunuhan massal 1965-1967,
pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh
dan Papua (1976-1983).
Penantian panjang yang tak kunjung tiba jika ini terjadi, maka dapat
dipastikan beberapa Jendral Indonesia yang tangannya berlumuran darah
sebelumnya di Timor Timur, Aceh dan Papua akan kewalahan.
Pemerintah tampaknya tidak serius soal ratifikasi perjanjian
bilateral, yang telah disepakati sejak 14 tahun lalu. Akhirnya empat
belas tahun lamanya dalam penantian yang tak pasti. (John Pakage)
0 komentar for "Emapt Belas tahun lamanya dalam Penantian yang tak Pasti"