PERNYATAAN SIKAP
Pendekatan HAM (human security) di Papua menitik beratkan
pada politik dan penahanan wilayah untuk keutuhan NKRI. dan sistem hukum dan
penegakan hukum menjadi ancaman terhadap HAM dan sistem demokrasi di Indonesia, sebagaimana
tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang telah diratifikasi oleh Indonesia yakni tentang
Hak individu (Hak
hidup, pengakuan kesetaraan di mata hukum, hak perlindungan dari diskriminasi
berbasis ras, jenis kelamin, etnis, kelompok dan agama). Hak legal (Akses terhadap perlindungan hukum, hak untuk
mendapatkan proses hukum yang legal, sah dan netral). Hak kebebasan
sipil (Kebebasan berpikir, berpendapat dan menjalankan ibadah
agama/kepercayaan) sama sekali tidak diberlakukan bagi rakyat Papua. Indonesia
tidak menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan
melindungi (to protect) hak asasi manusia di Papua termasuk melalui
kebijakan di sektor keamanan dan implementasinya.
Sebagai
Negara demokrasi, Indonesia telah mengakui HAM warga negaranya didalam UUD’45,
UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Selain itu ada ratifikasi instrumen
internasional, seperti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Regarding
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia) dan Ratifikasi terhadap Konvenan Hak- hak Sipil dan Politik,
menjadi UU No. 12 Tahun 2005. Walaupun demikian, tak ada satupun dari berbagi
intrumen ini yang berlaku efektif, baik dari sisi penegakan maupun
penerapannya.
Instrumen yang digunakan pendekatan
untuk menegakan human security yaitu, pemberian sanksi kepada para
pelaku pelanggaran HAM tidak berlaku, pembentukan opini publik yang menyoroti
kebijakan tindakan negara yang bertentangan dengan HAM di Papua lebih tidak
berimbang dan transparan justru opini TNI/Polri yang lebih dominan di media
masa. Selain itu, lobih dan kampanye pemerintah tentang penegakan hukum dan
HAM, pembangunan dan kesejakteraan terhadap rakyat Papua ke luar negeri lebih
gencar dilalukan.
Realita Kekerasan yang
dilakukan oleh aparat TNI/POLRI sangat
meningkat dari tahun ke tahun bahkan dari hari ke hari dalam bentuk pembunuhan
kilat, penghilangkan nyawa secara paksa, penahanan sewenag-wenang, pembungkaman ruang demokrasi dengan cara
pelarangan terhadap aksi damai, ibadah, diskusi-diskusi public terhadap
masyarakat asli Papua yang mengekspresikan keinginan politik dan memprotes
kekerasana Negara dan sebagainya. Cara ini telah menjadi sebuah pola yang
sistematis, dan secara sengaja dilegalisasi di dalam institusi TNI/Polri untuk
terus menerus digunakan sebagai strategi pembukaman bagi setiap ekspresi yang
dilakukan oleh masyarakat asli Papua
yang mengusung isu politik, lingkungan dan kekerasan aparat keamanan
dengan cara menjustifikasi kelompok sipil yang berbeda pandangan sebagai OPM
atau separatis, yang mengganggu keutuhan NKRI, keamanan ekonomi (investasi)
nasional dan internasional, dan juga selalu menggunakan istilah mengganggu
kenyamanan masyarakat umum.
Peristiwa kasus penembakan di Aimas, Kabupaten
Sorong yang menewaskan 2 orang, yaknii Abner Malagawak, 22 thn dan Thomas
Blesia, 22 thn; melukai 3 orang, yakni
Salomina Klaigin (31 Thn), Herman Lokmen (18 Thn), dan Andreas Safisa (32 Thn),
serta penangkapan 7 orang yang sampai saat ini masih ditahan di Polrseta
Kabupaten Sorong, juga beberapa kasus yang terjadi di Biak, Timika, dan Serui,
menjelang tanggal 31 April dan 1 Mei 2013 adalah keberlanjutan dari perencanaan
NKRI melalui apara TNI dan Polri yang terkomando, sistematis dan terstruktur
melakukan penembakan dan penagkapan untuk melumpuhkan perjuangan damai rakyat
Papua dengan menggunakan fasilitas dan pengetahuan lewat pelatihan-pelatihan
dari Negara-negara asing (Amerika, Inggris, Australia, dan New Zeland) untuk
pemberantasan Terroris. maka kami Solidaritas penegakan Hak Asasi Manusia untuk tragedy satu Mei
2013 mendesak dan menyerukan :
1.
Mendesak Gubernur Papua, Papua Barat, Polda Papua dan Pangdam
bertanggungjawab atas 3 (tiga) korban
penembakan di Aimas Sorong.
2.
Mendesak kepada Kapolda Papua, untuk segera membebaskan warga yang
ditangkap pada aksi damai 1 Mei 2013, baik yang ada di Sorong, Biak, dan
Timika, karena adanya jaminan kebebasan berekspresi yang telah diatur didalam
konstitusi Negara ini, beserta intrumen internasional yang sudah di ratifikasi
oleh Indonesia.
3.
Mendesak kepada pelapor khusus PBB masuk ke Papua untuk untuk memantau
langsung situasi kekerasan aparat NKRI terhadap rakyat sipil Papua.
4.
Kami Mendukung kantor Free West Papua campaign di Oxford UK
5.
Kami butuh dukungan penuh saudara-saudara dari forum Melanesian Speader Group (MSG).
Demikian pernyataan pers ini kami buat secara
sungguh- sungguh dan bertanggungjawab, demi penegakan HAM di Papua.
Port Numbay, 13 Mei
Mei 2013
SUMBER LAIN TERKAIT INI BACA DAN DIBWAH INI:
SUMBER LAIN TERKAIT INI BACA DAN DIBWAH INI:
http://www.malanesia.com/2013/05/fotos-kekerasan-kejahatan-tnipolri.html
http://majalahselangkah.com/content/aksi-di-jayapura-berujung-penangkapan-terhadap-ketua-knpb-dan-3-orang-anggota
http://majalahselangkah.com/content/aksi-di-jayapura-berujung-penangkapan-terhadap-ketua-knpb-dan-3-orang-anggota
0 komentar for "PANITIA AKSI NASIONAL SOLIDARITAS PENEGAK HAK ASASI MANUSIA UNTUK TRAGEDI SATU MEI 2013"