Rinto Kogoya (Ketum KPP AMP) |
“Tulisan ini saya persembahkan kepada Rakyat Papua dalam perayaan 50
Tahun Aneksasi atau Pendudukan Indonesia di Tanah Papua. Dan refleksi
bagi rakyat dan organisasi-organisasi Perlawanan di Papua yang
mencita-citakan Pembebasan Nasional Rakyat dan Bangsa Papua dari
Penidasan oleh Kolonialisme Indonesia, Imperialisme dan Militerisme”
Situasi Papua dewasa ini yang diperhadapkan dengan berbagai persoalan
dalam berbagai segi kehidupan baik dari aspek ekonomi politik maupun
sosial dan kebudayaan tidak terlepas dari sejarah perkembangan kehidupan
Rakyat Papua. Jika kita menyimak bagaiman awal gagasan pembentukan
Bangsa Papua oleh kaum intelektual Papua pada dekade 1960an tentunya
mereka memiliki cita-cita agar Rakyat Papua dapat membangun Bangsa dan
Tanah Airnya dengan lebih baik, lebih demokratis, lebih adil dan lebih
manusiawi dan lebih sejahtera di negerinya.
Walaupun tidak dapat kita temukan catatan sejarah tentang rumusan negara
yang dikehendaki para pengagas Bangsa Papua, tapi keinginan mereka
untuk memerdekakan Rakyat dan membentuk suatu negara adalah wujud
cita-cita yang mulia karena menghendaki agar Rakyatnya terbebas dari
sebuah penjajahan. Salah satu gagasan dari Resolusi Kongres Nederland
Nieuw Guinea Raad (Dewan Niuew Guinea) pada tanggal 19 Oktober 1961,
yang memiliki arti penting bagi Rakyat Papua saat ini adalah semboyan
“One People One Soul” yang artinya Satu Rakyat Satu Jiwa. Semboyan ini
mengartikan persatuan dari seluruh rakyat Papua yang beraneka ragam
suka, bahasa, tradisi adat dan kehidupan ekonominya.
Namun, kita tau bersama dimana Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno
yang egois dan angkuh telah melancarkan sebuah usaha untuk mengagalkan
lahirnya negara Papua Barat. Yang mana setelah deklarasi kemerdekaan
Bangsa Papua Barat 1 Desember 1961, kemudian pada tanggal 19 Desember
1961 Indonesia melalui Soekarno mengumandangkan TRIKORA. Yang diikuti
oleh mobilisasi militer dan para militer untuk menguasai Papua dari
tangan Belanda. Dengan alasan membebaskan Papua dari penjajahan Belanda.
Tentu hal yang tidak disadari Soekarno adalah gagasan membentuk sebuah
negara Papua Barat adalah murni kehendak Rakyat Papua yang dipelopori
oleh kaum intelektual Papua pada waktu itu, diantaranya ; N. Jouwe, M.W.
Kaiseppo, P. Torei, M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggakma, F.Poana
dan Andullah Arfan.
Sejak TRIKORA 19 Desember 1961 dan penyerahan administrasi dari
pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Indonesia selalu mengunakan militer (TNI-Polri) sebagai tameng untuk
menghadapi perlawanan Rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran
Indonesia.
Hingga saat ini, dapat kita saksikan sendiri bagaimana marginalisasi
terhadap Rakyat Papua dari segi ekonomi terjadi di depan mata kita,
bagaimana prilaku aparat militer Indonesia terhadap Rakyat Papua,
bagaimana tanah-tanah adat dijadikan lahan investasi perusahaan milik
negara-negara Imperialis, bagaimana tingginya kematian di Papua
khususnya kematian Ibu dan Anak, bagaimana lapangan pekerjaan yang ada
cuma PNS dan buruh perusahaan milik negara-negara Imperialis, bagaimana
minimnya tenaga guru dan prasarana pendidikan didaerah-daerah pelosok
dan masih banyak lagi persoalan lain yang sedang membelenggu Rakyat
Papua saat ini. Hal yang demikian terjadi diseluruh Papua dan tetap akan
dipertahankan, guna kepentingan penguasaan terhadap Tanah Papua.
Sehingga kesejahteraan menjadi alasan rasional Indonesia terhadap
gejolak konflik di Papua yang sebenarnya berkaitan dengan Identitas
suatu bangsa yang hendak memerdekakan diri.
Terbelenggunya Rakyat Papua dalam sebuah penjajahan, penindasan dan
diskriminasi dikarenakan kita diperhadapkan pada musuh bersama seluruh
Rakyat Papua yang menghambat laju kemajuan dan perkembangan hidup Rakyat
Papua. Berikut, kita akan menyimak secara umum bagaimana ketiga musuh
Rakyat Papua tetap berusaha menancapkan cakarnya di atas Tanah Papua.
Dan bagaimana agar rakyat Papua dapat terbebas dari cengkraman maut yang
mematikan dari yang namanya Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan
Militerisme.
Kolonialisme Indonesia
Pengertian Kolonialisme adalah “kebijakan dan praktek kekuatan dalam
memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah”. Kolonialisme
selalu memiliki sifat yang arogan dan ekspansionis. Tujuan utama
kolonialisme adalah menguras sumber kekayaan, sedangkan kesejahteraan
dan pendidikan rakyat daerah koloni, tidak diutamakan.
Kolonialisme Indonesia di Papua Barat dimulai ketika adanya infasi
militer ke Papua sejak TRIKORA 1961 dengan pembentukan Komando Mandala
untuk melancarkan operasi “Mandala” yang dipimpin oleh Letjend.
Soeharto. Ini bertujuan untuk melakukan ekspansi (peluasan wilayah
kekuasaan) negara Indonesia. Ini dilakukan berdasarkan klaim yang tidak
logis dan sepihak dari Soekarno, bahawa jauh sebelum Indonesia lahir,
papua adalah bagian dari kerajaan majapahit dan beberapa klaim lainnya.
Nyatanya dalam Konfrensi Meja Bundara hanya meliputi Hindia Belanda
(meliputi Sabang sampai Amboina) tidak termaksud Nederland Niue Guinea
(Papua Barat). Namun karena Indonesia yang keras kepala hendak menguasai
Papua, dan Belanda yang mengalami resesi ekonomi akibat perang, maka
pada 1 Mei 1963 terjadi penyerahan kekuasaan dari pemerintahan sementara
PBB, UNTEA kepada Indonesia. Indonesia yang hadir di Papua dengan
alasan mempersiapkan pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri sesuai
Perjanjian New York, nyatanya merekayasanya menjadi Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA). Tentunya dapat kita pastikan bagaimana proses dan
hasilnya.
Hingga kini, untuk menjalankan kolonisasi dan mempertahankan
kekuasaannya atas Tanah Papua, mesin birokrasi, sistem politik seperti
pemilu dan militer (TNI-Polri) digunakan untuk melegitimasi keberadaan
Indonesia di Papua. Birokrasi merupakan mesin legal Indonesia untuk
menjadikan Papua bagian dari NKRI dan militer merupakan alat reaksioner
yang digunakan untuk mempertahankan Papua apapun caranya. Dan sistem
politik seperti pemilu untuk menunjukan kalau Rakyat Papua patuh
terhadap sistem politik yang berlangsung di Indonesia. Hal sama seperti
yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan Papua, kembali
dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsa Papua.
Selain birokrasi, sistem politik dan militer, kebiakan politik seperti
UU N0 21 Tahun 2001 tentang Otsus, UU Pemekaran Wilayah, UP4B dan
kebijakan lain hanya merupakan upaya untuk mempertahankan Papua tetap
dalam kekuasaan Indonesia. Sama halnya dengan Belanda yang mengelurkan
kebijakan Politik Etis (Transmigrasi, Irigasi dan Edukasi) terhadap
rakyat Indonesia. Namun Belanda memperoleh keuntungan yang sangat besar
dari kebijakan politik etis yang dikeluarkan. Sedangkan Indonesia, tidak
hadir di Papua sebagai penjajah tunggal, Indonesia melayani tuanya
yaitu Imperialis. Indonesia hanya mendapatkan balas budi dari tuanya
berupa pajak dan royalti. Balas budi ini terkait jasa Indonesia yang
dengan setianya menjaga agar operasi perusahaan-perusahaan milik
Inperialis seperti Freeport, BP, LNG Tangguh dan lain-lain tetap
melakukan aktivitas ekploitasinya dengan aman dan lancar. Sehingga, apa
layak rakyat Papua hidup bersama-sama dengan “NEGARA BABU” seperti
Indonesia? Sehingga jangan kaget jika kita bertemu dengan istilah
seperti “Rezim Boneka”, “Rezim Antek” dll.
Sehingga jelas, bahwa setiap kebijakan yang diterapkan di Papua oleh
Indonesia tujuannya bukan untuk membangun rakyat Papua tapi membuka
akses bagi kaum Imperialis untuk mengeruk kekayaan alam di Papua. Dan
Papua menjadi sapi perahan yang setiap menghasilkan susu yang banyak
untuk mengemukan Indonesia dan tuannya Imperislisme.
Imperialisme
Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme atau kapitalisme
monopoli. Sedang kapitalisme adalah paham yang meyakini bahwa pemilik
modal dapat melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Imperialisme atau kapitalisme monopoli tidak hanya
menghisap kaum buruh tapi juga menguasai wilayah-wilayah penghasil bahan
mentah bagi Industrinya secara tidak langsung.
Kehadiran Imperialisme di Papua diawali dengan penandatanganan Kontrak
Karya PT Freeport milik Imperialis Amerika dengan pemerintahan Soeharto
pada tahun 1967. Kehadiran Freeport telah mengabaikan hak-hak demokratis
Rakyat Papua untuk merdeka sebagai sebuah negara. Kepentingan
Imperialisme atas Papua sesuai dengan ciri-cirinya yaitu :
1. Konsentrasi produksi dan kapital sehinga menciptakan monopoli yang
berperan penting dalam kehidupan monopoli. Artinya, konsentrasi produksi
hanya berpusat di Negara kapitalis. Mereka juga menguasai pasar dengan
menentukan harga.
2. Perbaduan antar kapital bank dan kapital industry menciptakn basis
yang menamakan kapital finace. Contoh: Bank Dunia, Bank IMF. Bank tidak
akan hanya sekedar memberikan pinjaman kepada suatu negara. Ia
mengharapkan ada imbal balik dari sebuah negara, dan mengharapakan
adanya jaminan. Dari permutran modal dan uang, itu akan kembali kepada
kapitalis itu sendiri.
3. Ekspor kapital berbeda dengan ekspor komoditi.
Artinya: Mereka hanya akan mengeskpor kapital kepada negara-negara lain agar mereka menyediakan bahan komoditi bagi mereka.
4. Pembentukan kapitalisme monopoli internasional dan pembagian dunia di antara mereka.
5. Pembagian teritori di seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis
besar telah selesai. Contoh : Amerika menguasai pengunungan tengah Papua
melalui Freeport, Inggris dengan Cina berbagi kepala burung Papua
melalui BP dan LNJ Tangguh, Korea di selatan Papua melalui Corindo dan
Medco dan kawan-kawannya.
Dari penjelasan ciri-ciri Imperialisme, menunjukan bahwa Papua saat ini
sedang berada dalam cengkraman negara-negara Imperialis. Hal ini
ditunjukan dengan masuknya berbagai perusahaan-perusahaan berskala Multy
National Coorporation (MNC) seperti BP di Bintuni dan LNG Tangguh di
Sorong Selatan serta pembukaan perkebunan skala luas seperti MIFEE di
Maroke dan Corindo dan Medco yang sudah ada jauh sebelumnya. Untuk
mengamankan keberlangsungan aktifitas eksploitasi perusahaan-perusahaan
milik Imperialis ini, militer (TNI-Polri) selalu digunakan untuk
menghalau perlawanan Rakyat pemilik hak ulayat.
Nyatanya, keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat
mensejahterakan seluruh Rakyat Papua yang berjumlah kurang lebih tiga
juta jiwa.
Militerisme
Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan
keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa
perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kepentingan
masyarakat. Militerisme memiliki sifat dasar yaitu represif dan
reaksioner.
Keberadaan militerisme di Papua sudah dimulai dengan masuknya penjajah
Belanda, baru kemudian sifat reaksionernya muncul ketika Indonesia hadir
di Papua. Militerisme Indonesia memulai aksinya di Papua paska TRIKORA
19 Desember 1961 dengan adanya seruan untuk memobilisasi umum rakyat
Indonesia untuk membebaskan Papua Barat dari Belanda oleh Soekarno.
Katanya membebaskan namun faktanya hari ini sedang menjajah.
Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan operasi
militer yang pertama yaitu Operasi Mandala tahun 1961 dan berbagai
operasi lain untuk melakukan teror, intimidari, pengejaran,
pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan
kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu, Daerah
Operasi Militer (DOM) melalui Operasi Koteka pada tahun 1970-an, Rakyat
Papua dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat
dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi
korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang
mengemukakan bahwa telah terjadi pemusnahan terhadap lebih dari 100
ribu rakyat Papua Barat akibat kekejaman militer Indonesia.
Aksi militerisme ini terus terjadi di Papua hingga saat ini dalam era
reformasi di Indonesia dan dilakukan untuk mempertahankan kepentingan
pendudukan Indonesia di Papua dan melindungi kepentingan industri
kapitalis milik negara-negara Imperialis untuk mengekploitasi kekayaan
alam Papua.
Jalan Keluar
Tentu tidak mudah melawan sistem yang sudah sekian lama menghisap,
menindas dan menjajah rakyat Papua untuk segera angkat kaki dari Tanah
Papua. Butuh persatuan diantara rakyat melalui organisasi atau faksi
perlawanan rakyat Papua yang ada dengan satu program perjuangan yang
tegas dan kesadaran bersama tentang siapa sejatinya musuh rakyat Papua.
Bagaimana segala daya upaya difokuskan pada kesatuan program perjuangan
yang telah disepakati dan dijalankan bersama. Menghilangkan sikap ego
dan klaimisme mutlak diperlukan untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self
Determination) bagi rakyat Papua merupakan satu-satunya tawaran solusi
demokratis dalam penyelesaian persoalan Papua sebagai tahapan rakyat
Papua untuk menentukan sikap hidup, apa tetap bersama Indonesia atau
merdeka sendiri. Melalui mekanisme internasional yang dikenal dengan
nama “REFERENDUM”. Dan harus diperjuangkan terus menerus oleh seluruh
organisasi perlawanan rakyat Papua secara sinergis baik di Tanah Air
Tercinta Papua, Indonesia dan dunia Internasional hingga cita-cita
Pembebasan Sejati Rakyat Papua terwujud. Dan hari depan yang lebih baik
dapat dinikmati oleh generasi Papua yang akan datang.
Apa yang saya uraikan secara umum diatas merupakan pandangan Aliansi
Mahasiswa Papua [AMP] yang memiliki platform perlawanan Anti
Kolonialisme Indonesia, Anti Imperialisme dan Anti Militerisme. Sehingga
turunannya dalam program perjuangan adalah memperjuangkan Hak
Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat
Papua sebagai syarat adanya demokratisasi bagi rakyat Papua, Tutup semua
aktivitas perusahaan milik Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh,
Medco, Corindo dll karena faktanya cuma menghisap , serta Tarik Militer
[TNI-Polri] Organik-Nonorganik dari seluruh Tanah Papua sebagai biang
terjadinya pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua.
Akhirnya, selamat menyonsong 50 Tahun Aneksasi Papua ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semoga tulisan ini dapat membantu
langkah kita kedepan.
Jayalah Rakyat Papua! Jayalah Perempuan Papua! Jayalah Mahasiswa Papua! Jayalah seluruh Rakyat Papua!
Keep spirit… Salam!
Penulis adalah Ketua Komite Pimpinan Pusat AMP [Ketum KPP AMP]
Sumber : www.komitepusatamp.blogspot.com
0 komentar for "Persoalan Pokok Rakyat Papua dan Jalan Keluarnya"