Sejak Papua dianeknisasikan ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sejak itu pula pembantaian, penculikan,
pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pemenjarahan terhadap rakyat Papua
mulai terjadi.
Berbagai
kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan melalui berbagai cara
seperti operasi militer dari tahun 1960 an menjadi luka traumatik yang mendalam
bagi rakyat Papua, seperti Operasi Sadar (1965-23 Maret 1966) yang dipimpin
oleh Brigjen R Kartidjo; Operasi Barata Yudha (23 Maret 1966-1967) yang
dipimpin oleh Brigjen R. Bintaro; Operasi Wibawa 1967-1969; Operasi Pamungkas
1969-1971, Pembantaian terhadap masyarakat Dani 1977, operasi koteka 1980an dan
lainnya.
Pasca
reformasi dengan dicabutnyanya status DOM (daerah operasi militer) pola operasi
militer berubah menjadi operasi intelejen dan pembentukan milisi, sehingga
Penghilangan Paksa, Penyiksaan, Kekerasan, Penangkapan sewenang-wenang,
pembunuhan misterius masih terjadi sampai saat ini dan sudah menjadi hal yang
lumrah.
Dari
sekian kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Papua, tidak ada satu kasus
pun yang dapat diselesaikan oleh negara, belum ada Penegakan hukum dan HAM,
bagi para pelaku pelanggaran HAM di Papua.
Para
pelaku pelanggaran HAM tidak ada yang dihukum, justru negara terlihat
melindungi aparatnya untuk terus melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap
warga sipil di Papua.
Kasus pelanggaran HAM Abepura Berdarah, 7 Desember 2000, merupakan salah satu kasus yang diproses secara hukum, namum para pelakunya di vonis bebas bahkan naik jabatan.
Selain itu, masih ada kasus pelanggaran HAM berat seperti Biak Berdarah 1999; Wasior 13 Juni 2001; Wamena Berdarah, 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003; Pembunuhan Theys Eluay dan penghilangan Nyawa Aristoteles Masoka, 10 November 2001 yang sampai dengan sat ini belum jelas proses penyelesaiannya.
Stigmanisasi
Separatis terhadap rakyat Papua oleh militer selama ini, hanya untuk melegalkan
upaya aparat militer menutup ruang demokrasi di Tanah Papua.
Penembakan
anggota TNI yang terjadi baru-baru ini di Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak
Jaya dan Distrik Sinak Kabupaten Puncak Papua, yang menewaskan 8 anggota TNI
mengakibatkan penyisiran dan operasi besar-besaran yang saat ini terjadi, hal
ini mengakibatkan aktivitas masyarakat sipil di kedua Kabupaten tersebut
menjadi terganggu. Ini dikarenakan aparat keamanan tidak mampu mengungkap siapa
dalang di balik peristiwa tersebut, dan mengkambing hitamkan masyarakat di
kedua wilayah tersebut yang nota bene adalah masyarakat sipil, sehingga
masyarakat mengungsi karena takut menjadi sasaran operasi.
Melihat realitas yang ada saat ini, maka kami yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Papua Semarang bersama Forum Mahasiswa Peduli Papua menyatakan sikap sbb:
1.
Atas nama Mahasiswa Papua Semarang-Salatiga menyampaikan turut berbelasungkawa
atas gugurnya anggota TNI yang bertuigas di Distrik Tingginambut Kabupaten
Puncak Jaya dan Distrik Sinak Kabupaten Puncak Provinsi Papua.
2.
Mendesak Kepolisian RI agar segera mengusut tuntas pelaku penembakan aparat TNI
di Distrik Tingginambut Kabupaten Puncak Jaya dan Distrik Sinak Kabupaten
Puncak Provinsi Papua,
3. Mendesak Pemerintahan SBY-Boediono agar segera menyelesaikan Persoalan Papua dengan arif dan bijaksana,
4.
Mendesak Pemerintahan SBY-Boediono agar segera mengadakan Dialog yang adil dan
bermartabat dalam upaya meluruskan sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI yang
cacat hukum dan penuh manipulasi,
5.
Mendesak Pemerintahan SBY-Boediono agar segera membebaskan tanpa syarat seluruh
TAPOL/ NAPOL Papua,
6.
Mendesak Pemerintahan SBY-Boediono agar Menarik militer baik organik maupun non
organik dari Tanah Papua,
7.
Mendesak Komunitas Internasional agar meninjau Kembali proses integrasi Papua
ke dalam NKRI yang penuh rekayasa dan cacat hukum pada pelaksanaan PEPERA 1969.
Semarang 28 Februari 2013
Forum
Komunikasih Mahasiswa Papua Semarang (FORKOMPAS ) Forum Mahasiswa Peduli Papua
0 komentar for "Pernyataan Sikap FORKOMPAS “ Hentikan Kekerasan di Tanah Papua ”"