• Penulis: Bernarda Meteray
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2012
• Tebal: xxix + 301 halaman
• ISBN: 978-979-709-644-1
Nasionalisme sebagai ekspresi politik, adalah temuan baru, seumur dengan surutnya kolonialisme. Dalam kajian sejarah, nasionalisme di belahan dunia mana pun tidak pernah berakar tunggal, termasuk di Papua. Bernarda Meteray secara cemerlang menunjukkan hal itu.
Ekspresi nasionalisme umumnya lebih tertuju pada cita-cita politik akan masa depan, ketimbang upaya mencari-cari ”tali pusat” ke masa lalu. Masa lalu bagi para propagandis nasionalisme lebih merupakan upaya untuk menambah percaya diri, bahwa masa depan bisa dibangun dengan puing-puing masa lalu. Singkatnya, nasionalisme dalam gerakan politik, lebih merupakan upaya untuk membangun identitas masa kini.
Dalam membangun identitas masa kini itulah, konsep Ben Anderson tentang ”imagined community”, komunitas yang secara sosial dikonstruksi, sungguh sangat tepat untuk meneropong masalah-masalah gerakan nasionalisme di abad ini. Buku karya Bernarda Meteray ini sesungguhnya memaparkan bagaimana sebuah masyarakat masa depan, dibayangkan identitasnya oleh para propagandis nasionalisme di Papua yang bergumul antara identitas kepapuaan dengan keindonesiaan.
Benang merah yang bisa kita tarik dari buku ini adalah wajah nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia yang berada dalam pergumulan yang tiada henti. Dalam tarik-menarik itu masing-masing saling mengisi dan mematangkan diri. Dalam kerangka pikir seperti itulah buku Bernarda ini mestinya kita nikmati dengan santai dan akal sehat, tanpa memberi beban politik yang berlebihan terhadap sebuah karya ilmiah, yang semula disertasi doktoral ini. Sebab, dalam seluruh paparannya, Bernarda tidak menyalahkan dan sekaligus membenarkan.
Dengan menggunakan konsepsi ”penyemaian”, Bernarda secara perlahan mengajak pembacanya memasuki proses idealisasi sebuah masyarakat, dialektika yang menjadi lahan pergumulan kepapuaan dan keindonesiaan.
Konstruksi nasionalisme Papua dimulai oleh penulis dalam Bab 3. Intinya adalah bibit nasionalisme Papua ditebarkan oleh misi pendidikan yang dibawa para pegiat keagamaan, khususnya Kristen dengan mendirikan sekolah-sekolah berasrama sebagai rendezvouz untuk anak-anak Papua dari berbagai puak dan suku.
Semua bermula dari Sekolah Guru di Mansinam dan Miei tahun 1923. Adalah IS Kijne, sosok guru yang memelopori dan mengajarkan rasa nasionalisme kepada anak-anak Papua agar mereka bisa keluar dari kurungan puak dan sukunya. Bacaan sekolah Seruling Emas dan Kota Emas adalah sarananya (hal 30-37). Sayangnya, diakhir bab itu Bernarda meragukan jelujur argumentasinya sendiri, dengan mengatakan ”kesadaran kepapuaan yang muncul di masa ini tidak ada kaitannya dengan politik, apalagi menuju konstruksi masa depan Papua sebagai negara bangsa” (hal 50).
Ragu
Akibat posisi berpikir yang ragu tersebut, identitas Papua yang politik seolah tak terjamah. Meskipun Bernarda memercayai bahwa pendidikan pola asrama menjadi lahan subur bagi tumbuhnya bibit nasionalisme Papua, namun bagaimana pendidikan itu bisa mentransformasikan pandangan dari identitas suku-suku menjadi identitas Papua yang politik, tidak mendapatkan penjelasan yang memadai.
Oleh karena itu, terasa ada loncatan induktif pada Bab 7. Dalam bab ini Bernarda langsung menyodorkan bahwa nasionalisme Papua tumbuh seiring dengan perselisihan Indonesia dengan kekuatan kolonialis Belanda yang telah sekarat. Nasionalis Papua, tiba-tiba muncul ke permukaan dengan mempersoalkan KMB tahun 1949.
Sementara pada Bab 6, penulis menguraikan daya upaya kolonial Belanda untuk mematahkan Indonesia pasca-KMB. Pelopor strategi politik seperti itu adalah Jan van Eechoud dan Van Mook, dengan mengobarkan bahwa Papua pasca-KMB bukan lagi bagian dari administrasi pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).
Sesungguhnya, paparan Bernarda pada Bab 5 memperkuat kandungan Bab 6 yang menunjukkan bahwa penyemai nasionalisme Papua tak lain dan tak bukan adalah Belanda dengan protagonis van Eechoud dan van Mook sepanjang tahun 1950 sampai 1962. Kedua tokoh kolonialis inilah yang menciptakan sosok Papua yang imagined, yang berlawanan dengan sosok Indonesia. Lahan persemaiannya adalah pergumulan politik antara kolonialis Belanda yang surut dengan Indonesia yang baru bangkit. Tokoh-tokoh terdidik Papua terombang-ambing dalam pergumulan tersebut.
Dalam Bab 8, penulis menunjukkan keterombang-ambingan itu secara baik. Di mana pemerintah kolonial Belanda di Papua memompa semangat nasionalisme Papua dengan membenahi pemerintahan dan memberi ruang bagi tumbuhnya bibit Papua yang dibayangkan, melalui pembentukan partai-partai politik dan Dewan Papua. Pelantikan Dewan Papua tanggal 5 April 1961 adalah puncaknya.
Di saat pergumulan dalam Dewan Papua bergelora, pemerintah kolonial Belanda dilanda kekhawatiran yang luar biasa oleh gerakan Soekarno. Ketidakjelasan sikap pemerintah kolonial Belanda itulah yang menyebabkan peristiwa tanggal 1 Desember 1961 di Dewan Papua dipandang oleh Bernarda sebagai ”bukan peristiwa kemerdekaan bangsa Papua” (hal 236). Peristiwa itu akhirnya juga menimbulkan perpecahan dikalangan elite Papua (hal 251).
Sementara sebagai kritik, dapat dikemukan bahwa Bernarda dalam menulis agak terburu-buru memandang nasionalisme Indonesia sebagai sesuatu yang utuh menyeluruh vis a vis melawan nasionalisme Papua. Padahal fenomena gerakan nasionalis di berbagai daerah Indonesia ini memiliki corak sendiri-sendiri, Papua bukan pengecualian. Artinya tidak ada pola dan modus yang sama menuju menjadi Indonesia di seluruh Nusantara ini. (M/ Habelino E)
Sumber: facebook.com
0 komentar for "Buku "Nasionalisme Ganda Orang Papua""