ILUSTRASI |
Di ujung paling timur jajaran pulau di Indonesia, Papua masih diharapkan menjadi "surga terakhir" kekayaan alam Tanah Air. Hutan, laut, seni-budaya. dan kearifan masyarakat sangat unik serta masih menyimpan lautan misteri untuk diungkap.
Marc Argeloo dari WWF Indonesia yang bekerja di Papua sejak 1995 tak hentinya mengagumi Papua. "Dilihat dari atas, hutan di Papua seperti karpet brokoli," katanya di Jakarta, Selasa (11/9).
Pada usia ke-50 WWF Indonesia dan 30 tahun WWF bekerja di Papua, Argeloo meluncurkan buku Land of the Birds of Paradise. Di sana, ia tumpahkan berbagai keunikan Papua.
Sejarah pembentukan Pulau Papua hingga aneka fauna unik disajikan dalam 191 halaman. Interaksinya puluhan tahun di pedalaman Papua yang punya 274 bahasa suku (bukan dialek) terdokumentasi di bukunya.
Sayangnya, secuil surga di bumi itu tercapai tangan-tangan manusia yang rakus. Berlindung di balik motif kebutuhan ekonomi dan pembangunan, setiap tapak Papua seolah menjadi solusi praktis untuk dieksploitasi.
Kayu, lahan kelapa sawit, lahan pangan dan bioenergi, hasil tambang, serta perikanan terus diincar. Seiring waktu, dampaknya mudah terlihat
Lihat saja perairan pesisir utara Pulau Waigeo di Raja Ampat yang keruh oleh lumpur akibat tambang nikel. Hutan konservasi Lorentz kian tergerus kebutuhan lahan kabupaten pemekaran.
Contoh lain, tutupan salju di Pegunungan Jayawijaya pun kian menipis dan berkurang. Meskipun banyak pihak menuding "tersangka" utamanya perubahan iklim, aktivitas pengunjung di puncak yang semakin tinggi layak diperhitungkan turut memengaruhi.
Rencana terbaru
Isu terkini, rencana pembukaan hutan dan sabana di,Merauke hingga Mappi atas nama kepentingan pangan dan energi nasional. Program bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) ini bakal membuka 2 juta hektar lahan.
"MIFEE ini paling mengkhawatirkan kami serta masyarakat asli Papua dan konservasi," kataii;Jina Rahawarin dari WWF di Papua.
Selain berpotensi melenyapkan gambut yang menjadi "tandon" sumber air warga Merauke, konversi lahan besar-besaran itu juga bakal menyengsarakan masyarakat asli Papua. Mereka, orang-orang Marind, belum memiliki keterampilan dan kebiasaan bertani secara teratur. Hutan dan sabana di situ saat ini masih menyediakan pangan secara alami.
Ironisnya, demi menopang pangan nasional, hutan sagu di Merauke yang nyata-nyata sumber pangan lokal justru terancam dibabat!
Berbagai isi ekosistem hutan sagu pun habis dibersihkan. Orang-orang Marind yang memiliki totem, semacam lambang marga yang terinspirasi dari flora/fauna penghuni hutan, akhirnya kehilangan identitas budaya. Alam yang hancur dan pergeseran kearifan lokal akan menjadi "kiamat sempurna" dari "surga" di bumi itu.
Benja Mambai, Direktur Program Papua WWF Indonesia berharap pembangunan Papua tak mengulang kesalahan masa lalu. "Jangan seperti surga-surga lain di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang telanjur rusak. Ini tantangan pejuang konservasi di timur Indonesia," katanya.
Kini, "surga" terakhir bernama Papua itu terkoyak, terus terkoyak. Entah sampai kapan sisa "surga" di sana terjaga dan bertahan. (ICHWAN SUSANTO)
SUMBER: FACEBOOK.COM
0 komentar for "Papua, Surga Terakhir yang (Terus) Terkoyak"