"Kesimpulan Skripsiku:Nasionalisme dan Gerakan Kebangsaan Papua 1961-1988"
By: Longginus Pekei S.pd
A. Kesimpulan
Nasionalisme Papua di Papua Barat tumbuhnya dan berkembang secara khas telah dinyatakan melalui gerakan millinerian, mesianic dan “cultus cargo” sebagai respon masyarakat pribumi terhadap dominasi kolonialisme/imperialisme. Saat itu terhadap penjajah Belanda yang “terkenal di kawasan Asia sebagai penguasa kolonial yang paling kejam dan serakah”, menyita tanah, penghisapan penduduk asli yang tak kenal belas kasihan, diskriminasi ras, dipertahankan dengan sengaja keadaan kesehatan yang buruk, “ Isolasi Budaya”.
Pendidikan jaman Belanda, meskipun dipraktekan agar univikasi dan asimilasi terjadi agar eksitenisasi dan eropanisasi terus terjasi, namun jutru telah membangkitkan kesadaran nasionalisme penduduka asli (terjajah). Lahirny nasionalisme Papua ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh terpelajar yang menggagas nasionalisme Papua dan turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial denga membetuk Dewan Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad) dari tanggal 18 – 25 Februari 1961 Pada tanggal 5 April 1961 Nieuw Guinea Raad, dan melakukan kongres Papua Barat I, 19 Oktober 1961 yang kemudian mendeklarasikan perangkat kenegaraan seperti:
(1). Bendera Bintang kejora sebagai bendera bangsa Papua. (2). lagu, Hai Tanahku Papua Barat sebagai lagu kebangsaan Papua. (3). Lambang Negara: Burung Mambruk, (4) semboyan: One People One Soul. Kemudian mendeklarasi Papua Barat 1 Desember 1961, tepat pada jam 08.10. di Jl.Irian,d I halaman Gedung kesenian Papua Barat yang pada waktu itu adalah gedung Nieuw Guinea Read, dilakukan pengibaran Bendera Papua Barat berdampingan dengan Bendera Kerajaan Belanda dan dinyanyikan lagu kebangsaan kedua negara Belanda ("Wilhelmus"). dan Papaua Barat (Hai Tanahku Papua) dikumandangkan pertama kalinya.
Dasar pejuangan kemerdekaan Papua Barat terhadap Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah hak. Kemerdekaan Negara Papua telah dianeksasi Indonesia, meskipun orang Papua sebagai suatu bangsa memiliki hak untuk merdeka, menata diri dan menentukan nasib etnisnya kemasa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi dan lebih lestari dari berbagai ancaman pemusnaan, penindasan, pembantaian sistematis, dll, sebagaiman amanat pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “bahwa kemerdekaan adalah hak segalah bangsa, maka penjajahan dunia harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan” kemerdekaan Papua Barat terus dilakukan dengan amant hukum internasional, yakni Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia.
Setelah beintegrasi, Indonesia mewarisi praktek-praktek kolonial- imperialis, mempertahankan hegemoni dan penindasan di Papua Barat mengacam musnahnya identitas etnik dan budaya Papua, karena itu telah melahirkan perlawanan dan penolakan terhadap Indonesia. Lagi pula, mempertahanakan Papua atas dasar: Pertama: Papua Barat adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Kedua: Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pada jaman dahulu merupakan daerah jajahan dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah "Indonesia Bagian Timur". Ketiga: Papua Barat adalah bagian jajahan bekas Hindia Belanda. Keempat: Soekarno yang anti imperialisme barat ingin menghalau bangsa barat yang masih berkoloni di sekitar Indonesia (ingat: "Ganyang Malaysia"), dan mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat bagian dari Hindia Belanda, tampak bukanlah alasan mendasar hanya merupakan Imajinasi.
Semua argomen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara repoblik Indonesia yang diprokalamsikan 17 Agustus 1945 sebenarnya tidak memliki dasar yang kuat untuk membendung keinginan rakyat Papua Barat mengeluarkan kekuasaan Indonesia dari negeri mereka, karena beberapa poin penting yang menjadi dasar perbedaan sejarah sebagai tampak pada a) Papua barat Diproklamirkan lepas dari hindia Belandan dan RIS 1949 b. Dalam menentang Belanda dan Fasisme Jepang. c. Papua Barat memiliki identitas negara. d) Sejak Indonesia datang ke Papua Barat telah terjadi penolakan. Meskipun akhirnya, konspirasi politik Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tejadi dalam Perjanjian New York, 1962 yang menyepakati pelaksaanaan PEPERA 1969 yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan kesepakatan Internasional, di seting oleh Indonesia, telah dibahwa melalui militer dengan mengabaikan Hak keamanan dan kemerdekaan Papua dan Indonesia memenangkan Wilayah Papua sebagai milik Indonesia secara de fakto dan de yure, namun perjuangan kemerdekaan terus dilakukan menuntut pelurusan sejarah agar dilakukan referendum yang lebih bermatabat.
Tanah sebagai dasar perlawanan keluar dari NKRI, karena tanah bagi orang Papua sebagai ukuran bagi harga diri telah menyatu dengan manusia baik lahir maupun batin, sebagai rumah yang memberikan perlindungan akan kehidupan, dan arwah tempat tinggal nenek moyang yang merupakan sumber kehidupan manusia yang semakin dirusak. Sejak awal kehidupan mereka, masyarakat, rakyat Papua Barat dekat dengan tanah dan alam mereka sehingga diyakini bahwa tanah adalah mama mereka, misalnya dalam filisofis suku Mee, mengatakan maki kouko akukai (tanah adalah Ibu), Orang Amungme juga mamahami tanah sebagai ibu kadung, dan orang Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan atau beteh.
Di atas tanah Papua kekerasan militer dalam tahun 1962 - 1988 meninggalkan memoria passionos, tumbal integrasi karya militeristik ternyata jutru membangikitkan roh perlawanan rakyat dan anti Indonesia semakin tumbuh dan meluas. Semakin berkemang kesadaran, bahwa proses integrasi Papua dalam pelukan ibu pertiwi Indonesia ternyata melahirkan beban sejarah. Bagi takyat Papua. Trikora (1961), perjanjian New York (1962) maupun Pepera (1969) dan resolusi PBB Nomor 2504 bukan komitmen dekolonisasi untuk membebaskan rakyat Papua dari Penjajahan Belanda, melainkan proses Re-Kolonisasi Tanah Papua oleh Indonesia.
Indonesia mengganti kekuasaan Belanda, juga menganti seluruh stuktur pemerintahan di Papua Barat, meskipun secara atminitrasi pemerintah Indonesia meneruskan warisan kolonial Belanda. Birokrasi di Papua Barat di tahun 1960-an hingga 1980-an di duduku aparat militer. Bupati, Camat hingga lurah di pimpin oleh militer sehingga situasi politik di Papua tidak berjalan sebagai usaha membangun. Melainkan upaya menenangkan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Dia antara tahun itu, Gubernur, Camat, Lurah dan Bahkan kepala suku bila melakukan upaya membangun masyarakat dengan disesuaikan dengan konteks Papua maka militer dan pemerintah Indonesia mencurigai sebagai gerakan makar, separatis kemudian menjadi incaran militer.
Pelanggaran HAM terus terjadi tanpa perna diukik dan bahkan untuk menyelesaikanpun tidak terjadi. Demi integrasi, orang Papua tidak diperlakukan sebagai manusia yang punya akal pikiran sehat. Hak asasi mayarakat Papua Barat tidak dihormati secara wajar dan manusiawi hanya karena demi keutuhan negara kesatuan Indonesia, masyarakat Papua Barat di intimidasi, diperkosa, dipukul, dan ditahan tanpa melalui proses hukum; bahkan dibunuh dan dibantai seperti mangsa yang diterkam harimau lapar. Kekerasan militer di Papua dilakukan dengan cara pembunuhan masal terhadap Bangsa Papua. (-+) 300.000 penduduk telah hilang tanpa bekas. Sehingga diperkirakan bahwa dari jumlah penduduknya 700.000 pada tahun 1960 dan (-+) 1.000.000 orang ditahun 1980, 30% jumlah dihilangkan secara tak manusiawi. Jumlah ini dapat diperoleh dari rincian sebagai berikut: yang selamat dari bom udara (-+) 80.000 orang, melarikan diri mengungsi (1984-1985) (-+) 13.000, dibunuh (-+) 13.000. Sehingga dapat ditotalkan (-+) 160.000. lalu ke mana yang lainnya pergi?
Sistem kesehatan untuk penduduk desa, dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk itu begitu cepat, secara langsung mupun tidak langsung, sebagai hasil kebijakan buatan manusia. Diawal tahun untuk menguasai teritori, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melenyapkan kaum elite Papua yang telah menganyam pendidikan. Hal ini disebabkan adanya ketakutan pada kaum ini yang akan menghalangi proses integrasi. Program KB nasional yang menghendaki jumlah keluarga kecil juga merupakan cara licik bagi ras Papua. Genosida yang lebih mengerikan tapi tidak secara langsung adalah penghabisan pelayanan kesehatan, juga penyakit yang dapat dicegah tapi pasiennya dibiarkan saja hingga meninggal, translokal yang dipaksakan dari daerah pedalaman ke pesisir pantai yang lebih rawan terhadap ancaman penyakit malaria seperti: orang Amungme disekitar area PT. Freeport.
Cara lain adalah merampas tanah yang subur. Bahwa demi pengamanan modal pembangunan demikian diterapkan systematic violent, systematic killings and systematic destruction, yang kaibatnya bertujuang untuk genocide agar masyarakat pribumi jangan mengganggu pembangunan yang memihak kepentingan penguasa dan warga pendatang. Pertumbuhan demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional. Transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua.
Hubungan sosial dan ekonomi Freeport dengan Papua Barat menunjukan catatan yang buruk. Motif untuk mendapatkan keuntungan semata, dan kebijakan pemerintah yang serba dari pusat menghasilkan sebuah situasi klasik dari ekploitasi kolonial. Freeport mengabaikan nilai moral dari tindakan pemerintah dan menganggap semua itu sebagai kekuasaan penuh untuk kepentingan pembangunan. Selama kurang lebih 25 tahun (1963-1988) para pemimpin Indonesia sikapnya tidak pernah bergeming terhadap budaya masyarakat Papua. Pada awal Indonesia diintegrasikan ke dalam Papua, Soebandrio menjelaskan bahwa kebijakan yang diterapkan Indonesia dapat diibaratkan “ untuk membuat mereka turun dari pohon, atau jika perlu dengan menyeret mereka” Kemudian, Daoed Yusuf, menteri pendidikan pada kabinet Soeharto pada waktu itu, mengatakan bahwa “pemerintah telah berusaha keras untuk memoderenkan masyarakat, tetapi butuh waktu untuk menghilangkan tradisi yang mereka anut” Pandangan kolonialis seperti itu dianut oleh sebagian pemimpin dan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Menurut Menteri luar negeri Indonesia Mochtar pada masa Orde Baru mengatakan bahwa orang-orang yang menganut paham seperti di atas itu dengan sendirinya adalah penanut rasisme dan tekanan militer.
Meskipun dalam tekanan militer, ada dua tokoh yang kembali menghidupkan gerakan permawanan tehadap Indonesia yaitu: pertama Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas yaitu: a) Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini. b) Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak adil, maka bangsa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.
Kedua, Gerakan yang diketuai Terianus, menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat". Gerakan yang dilakukan belum menggunakan senjata, melainkan menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Papua Barat dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962, karena para intelektual Papua, menilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan.
Dokumen yang dibuat Terianus juga berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat yang telah dilengkapi dengan susunan Kabinetnya dan struktur pemerintahan dan oleh Indonesia di sebut Organisasi Papua Merdeka. Namun sebelum dokumen rahasia itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka Sidang Umum untuk membahas kembali masalah Papua Barat, dan menyetujui serta mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat dan berdiri sendirisampai ke PBB, kegiatan rahasia ini terbongkar Terianus Aronggear di tanggap di biak pada tanggal 12 Mei 1965 dan Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), ia melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jaouwe.
Gerakan perjuangan Menuju Papua Barat merdeka yang sudah menginternasional melalui nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM, setelah tertangkapnya Terianus Aronggear para stafnya maka sebagai Panglima Perang secara tegas Fermenas Awon di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 memegang kendali organisasi perjuangan atau OPM. Kekuatan gerakan perjuangan kemerdekaan Papua, dikendalikan oleh Tentara Nasional Papua (TPN). Gerakan perjuangan TPN merembes hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan meluas keseluruh Papua Barat.
Dari sini dapat ditarik suatu kesumpulan bahwa konflik yang terjadi di Papua Barat adalah konflik nasionalisme antara nasionalisme Indonesia dan Nasionalisme Papua yang menghendaki kemerdekaan Papua Barat. Dampaknya merembet luas terlihat sampai pada pelaksanaan pembangunan di Papua, upaya kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak aspiratif dan tidak sesuai karakter masyarakat setempat karena memuat muatan politik yaitu, untuk membendung atau membunuh nasionalisme Papua Barat. Namun nasionalisme jutru semakin tumbuh subur dan nampak di ekspresikan dalam berbagai bentuk perlawanan baik dengan bersenjata maupun melalui jalan damai, seperti ber demontrasi dan bahkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang selalu memakan korban.
B. SaranHingga saat ini konflik nasionalisme antara mempertahakan Papua dalam kesatuan NKRI dan kelompok nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan masih terus terjadi. Di masalalu telah memakan banyak korban, maka perlua ada upaya mencari solusi penyelesaian melalui jalan damai. Dalam konteks ini membutuhkan dialog antara semua pihak dan terutama kedua belah pihak yang bertikai dengan menghadirkan pihak ketiga yang menjadi mediator. Sebagimana yang ditawarkan di tawarkan ELSAM Papua, melalui rekomendasinya untuk menjadi masukan bagi semua pihak yang ingin memberikan kontribusi pemikiran dan solusi pemecahan masalah sebagai upaya penciptaan keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua adalah sebagai berikut:
a. Pihak pemerintah penjajah yaitu Indonesia yang didukung oleh TNI dan PORLI dan TPN OPM serta masyarakat Papua sudah saatnya untuk menghentikan berbagai kekerasan dalam bentuk apapun dan kepentingan apapun di tanah Papua Barat dan mencari solusi bersama secara damai, adil dan demokratis
b. Pemerintah penjajah yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat harus membuka diri, waktu, tempat dan mecari fasilitator yang menengahi rakyat Papua dengan pemerintah penjajah yaitu Indonesia guna menyelesaikan akar permasalahan pemicu kekerasan terhadap warga sipil di tanah Papua Barat.
c. pemerintah penjajah yaitu Indonesia harus segera menarik aparat militer baik pasukan organik maupun non organis dari seluruh tanah Papua Barat dn lebih kasus lagi dari Pegunungan Tengah karena sangat meresahkan dam merusak hak asasi manusia.
d. semua pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat pada umumnya, dan di Pegunungan Tengah pada khususnya harap di adili melalui peradilan HAM ad hoc dan memberi perlindungan serta pertanggungjawaban hukum yang jelas bagi pihak keluarga dan masyarkat Papua pada umumnya.
Dengan begitu akan tampak jelas apa yang dikendaki masyarakat Papua Barat, dan juga apa yang dikehendaki Indonesia. Kalau sampai dialog terjadi dan orang Papua menghendaki referendum ataupun Pepera sebagaiman solusi yang menurut dia paling tepat, efektif, terhormat, bermartabat, sipatik, dan bermoral serta demokratis adalah:
a. Dialog Nasional (Rakyat Papua dengan Indonesia duduk bersama satu meja).
b. Dialog internasional (Rakyat Papua , PBB, Amerika, Indonesia, Belanda duduk bersama satu meja)
c. Meninjau kembali hasil PEPERA (1969)
d. Referendum ulang di Papua Barat secara demokrasi, jujur dan adil.
Resolusi itu berangkat dari peristiwa konflik nasionalisme antara nasionalisme Papua Merdeka dan NKRI yang selama bertahun-tahun telah menyebabkan adanya teror, intimidasi, pembunuhan sampai pembantaian masal semuanya dengan tujuan pengambilan atau perampasan hak-hak dasar orang Papua Barat. Resolusi di atas menjadi upaya pemecahan masalah untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua. Dengan demikian akan menguji hegemoni nasionalisme Indonesia bagi orang Papua Barat, apakah tetap mempertahanakan NKRI atau menghendaki Papua merdeka.
Nasionalisme Papua di Papua Barat tumbuhnya dan berkembang secara khas telah dinyatakan melalui gerakan millinerian, mesianic dan “cultus cargo” sebagai respon masyarakat pribumi terhadap dominasi kolonialisme/imperialisme. Saat itu terhadap penjajah Belanda yang “terkenal di kawasan Asia sebagai penguasa kolonial yang paling kejam dan serakah”, menyita tanah, penghisapan penduduk asli yang tak kenal belas kasihan, diskriminasi ras, dipertahankan dengan sengaja keadaan kesehatan yang buruk, “ Isolasi Budaya”.
(1). Bendera Bintang kejora sebagai bendera bangsa Papua. (2). lagu, Hai Tanahku Papua Barat sebagai lagu kebangsaan Papua. (3). Lambang Negara: Burung Mambruk, (4) semboyan: One People One Soul. Kemudian mendeklarasi Papua Barat 1 Desember 1961, tepat pada jam 08.10. di Jl.Irian,d I halaman Gedung kesenian Papua Barat yang pada waktu itu adalah gedung Nieuw Guinea Read, dilakukan pengibaran Bendera Papua Barat berdampingan dengan Bendera Kerajaan Belanda dan dinyanyikan lagu kebangsaan kedua negara Belanda ("Wilhelmus"). dan Papaua Barat (Hai Tanahku Papua) dikumandangkan pertama kalinya.
Dasar pejuangan kemerdekaan Papua Barat terhadap Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah hak. Kemerdekaan Negara Papua telah dianeksasi Indonesia, meskipun orang Papua sebagai suatu bangsa memiliki hak untuk merdeka, menata diri dan menentukan nasib etnisnya kemasa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi dan lebih lestari dari berbagai ancaman pemusnaan, penindasan, pembantaian sistematis, dll, sebagaiman amanat pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “bahwa kemerdekaan adalah hak segalah bangsa, maka penjajahan dunia harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan” kemerdekaan Papua Barat terus dilakukan dengan amant hukum internasional, yakni Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia.
Setelah beintegrasi, Indonesia mewarisi praktek-praktek kolonial- imperialis, mempertahankan hegemoni dan penindasan di Papua Barat mengacam musnahnya identitas etnik dan budaya Papua, karena itu telah melahirkan perlawanan dan penolakan terhadap Indonesia. Lagi pula, mempertahanakan Papua atas dasar: Pertama: Papua Barat adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Kedua: Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pada jaman dahulu merupakan daerah jajahan dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah "Indonesia Bagian Timur". Ketiga: Papua Barat adalah bagian jajahan bekas Hindia Belanda. Keempat: Soekarno yang anti imperialisme barat ingin menghalau bangsa barat yang masih berkoloni di sekitar Indonesia (ingat: "Ganyang Malaysia"), dan mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat bagian dari Hindia Belanda, tampak bukanlah alasan mendasar hanya merupakan Imajinasi.
Semua argomen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara repoblik Indonesia yang diprokalamsikan 17 Agustus 1945 sebenarnya tidak memliki dasar yang kuat untuk membendung keinginan rakyat Papua Barat mengeluarkan kekuasaan Indonesia dari negeri mereka, karena beberapa poin penting yang menjadi dasar perbedaan sejarah sebagai tampak pada a) Papua barat Diproklamirkan lepas dari hindia Belandan dan RIS 1949 b. Dalam menentang Belanda dan Fasisme Jepang. c. Papua Barat memiliki identitas negara. d) Sejak Indonesia datang ke Papua Barat telah terjadi penolakan. Meskipun akhirnya, konspirasi politik Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tejadi dalam Perjanjian New York, 1962 yang menyepakati pelaksaanaan PEPERA 1969 yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan kesepakatan Internasional, di seting oleh Indonesia, telah dibahwa melalui militer dengan mengabaikan Hak keamanan dan kemerdekaan Papua dan Indonesia memenangkan Wilayah Papua sebagai milik Indonesia secara de fakto dan de yure, namun perjuangan kemerdekaan terus dilakukan menuntut pelurusan sejarah agar dilakukan referendum yang lebih bermatabat.
Tanah sebagai dasar perlawanan keluar dari NKRI, karena tanah bagi orang Papua sebagai ukuran bagi harga diri telah menyatu dengan manusia baik lahir maupun batin, sebagai rumah yang memberikan perlindungan akan kehidupan, dan arwah tempat tinggal nenek moyang yang merupakan sumber kehidupan manusia yang semakin dirusak. Sejak awal kehidupan mereka, masyarakat, rakyat Papua Barat dekat dengan tanah dan alam mereka sehingga diyakini bahwa tanah adalah mama mereka, misalnya dalam filisofis suku Mee, mengatakan maki kouko akukai (tanah adalah Ibu), Orang Amungme juga mamahami tanah sebagai ibu kadung, dan orang Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan atau beteh.
Di atas tanah Papua kekerasan militer dalam tahun 1962 - 1988 meninggalkan memoria passionos, tumbal integrasi karya militeristik ternyata jutru membangikitkan roh perlawanan rakyat dan anti Indonesia semakin tumbuh dan meluas. Semakin berkemang kesadaran, bahwa proses integrasi Papua dalam pelukan ibu pertiwi Indonesia ternyata melahirkan beban sejarah. Bagi takyat Papua. Trikora (1961), perjanjian New York (1962) maupun Pepera (1969) dan resolusi PBB Nomor 2504 bukan komitmen dekolonisasi untuk membebaskan rakyat Papua dari Penjajahan Belanda, melainkan proses Re-Kolonisasi Tanah Papua oleh Indonesia.
Indonesia mengganti kekuasaan Belanda, juga menganti seluruh stuktur pemerintahan di Papua Barat, meskipun secara atminitrasi pemerintah Indonesia meneruskan warisan kolonial Belanda. Birokrasi di Papua Barat di tahun 1960-an hingga 1980-an di duduku aparat militer. Bupati, Camat hingga lurah di pimpin oleh militer sehingga situasi politik di Papua tidak berjalan sebagai usaha membangun. Melainkan upaya menenangkan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Dia antara tahun itu, Gubernur, Camat, Lurah dan Bahkan kepala suku bila melakukan upaya membangun masyarakat dengan disesuaikan dengan konteks Papua maka militer dan pemerintah Indonesia mencurigai sebagai gerakan makar, separatis kemudian menjadi incaran militer.
Pelanggaran HAM terus terjadi tanpa perna diukik dan bahkan untuk menyelesaikanpun tidak terjadi. Demi integrasi, orang Papua tidak diperlakukan sebagai manusia yang punya akal pikiran sehat. Hak asasi mayarakat Papua Barat tidak dihormati secara wajar dan manusiawi hanya karena demi keutuhan negara kesatuan Indonesia, masyarakat Papua Barat di intimidasi, diperkosa, dipukul, dan ditahan tanpa melalui proses hukum; bahkan dibunuh dan dibantai seperti mangsa yang diterkam harimau lapar. Kekerasan militer di Papua dilakukan dengan cara pembunuhan masal terhadap Bangsa Papua. (-+) 300.000 penduduk telah hilang tanpa bekas. Sehingga diperkirakan bahwa dari jumlah penduduknya 700.000 pada tahun 1960 dan (-+) 1.000.000 orang ditahun 1980, 30% jumlah dihilangkan secara tak manusiawi. Jumlah ini dapat diperoleh dari rincian sebagai berikut: yang selamat dari bom udara (-+) 80.000 orang, melarikan diri mengungsi (1984-1985) (-+) 13.000, dibunuh (-+) 13.000. Sehingga dapat ditotalkan (-+) 160.000. lalu ke mana yang lainnya pergi?
Sistem kesehatan untuk penduduk desa, dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk itu begitu cepat, secara langsung mupun tidak langsung, sebagai hasil kebijakan buatan manusia. Diawal tahun untuk menguasai teritori, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melenyapkan kaum elite Papua yang telah menganyam pendidikan. Hal ini disebabkan adanya ketakutan pada kaum ini yang akan menghalangi proses integrasi. Program KB nasional yang menghendaki jumlah keluarga kecil juga merupakan cara licik bagi ras Papua. Genosida yang lebih mengerikan tapi tidak secara langsung adalah penghabisan pelayanan kesehatan, juga penyakit yang dapat dicegah tapi pasiennya dibiarkan saja hingga meninggal, translokal yang dipaksakan dari daerah pedalaman ke pesisir pantai yang lebih rawan terhadap ancaman penyakit malaria seperti: orang Amungme disekitar area PT. Freeport.
Cara lain adalah merampas tanah yang subur. Bahwa demi pengamanan modal pembangunan demikian diterapkan systematic violent, systematic killings and systematic destruction, yang kaibatnya bertujuang untuk genocide agar masyarakat pribumi jangan mengganggu pembangunan yang memihak kepentingan penguasa dan warga pendatang. Pertumbuhan demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional. Transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua.
Hubungan sosial dan ekonomi Freeport dengan Papua Barat menunjukan catatan yang buruk. Motif untuk mendapatkan keuntungan semata, dan kebijakan pemerintah yang serba dari pusat menghasilkan sebuah situasi klasik dari ekploitasi kolonial. Freeport mengabaikan nilai moral dari tindakan pemerintah dan menganggap semua itu sebagai kekuasaan penuh untuk kepentingan pembangunan. Selama kurang lebih 25 tahun (1963-1988) para pemimpin Indonesia sikapnya tidak pernah bergeming terhadap budaya masyarakat Papua. Pada awal Indonesia diintegrasikan ke dalam Papua, Soebandrio menjelaskan bahwa kebijakan yang diterapkan Indonesia dapat diibaratkan “ untuk membuat mereka turun dari pohon, atau jika perlu dengan menyeret mereka” Kemudian, Daoed Yusuf, menteri pendidikan pada kabinet Soeharto pada waktu itu, mengatakan bahwa “pemerintah telah berusaha keras untuk memoderenkan masyarakat, tetapi butuh waktu untuk menghilangkan tradisi yang mereka anut” Pandangan kolonialis seperti itu dianut oleh sebagian pemimpin dan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Menurut Menteri luar negeri Indonesia Mochtar pada masa Orde Baru mengatakan bahwa orang-orang yang menganut paham seperti di atas itu dengan sendirinya adalah penanut rasisme dan tekanan militer.
Meskipun dalam tekanan militer, ada dua tokoh yang kembali menghidupkan gerakan permawanan tehadap Indonesia yaitu: pertama Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas yaitu: a) Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini. b) Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak adil, maka bangsa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.
Kedua, Gerakan yang diketuai Terianus, menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat". Gerakan yang dilakukan belum menggunakan senjata, melainkan menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Papua Barat dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962, karena para intelektual Papua, menilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan.
Dokumen yang dibuat Terianus juga berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat yang telah dilengkapi dengan susunan Kabinetnya dan struktur pemerintahan dan oleh Indonesia di sebut Organisasi Papua Merdeka. Namun sebelum dokumen rahasia itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka Sidang Umum untuk membahas kembali masalah Papua Barat, dan menyetujui serta mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat dan berdiri sendirisampai ke PBB, kegiatan rahasia ini terbongkar Terianus Aronggear di tanggap di biak pada tanggal 12 Mei 1965 dan Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), ia melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jaouwe.
Gerakan perjuangan Menuju Papua Barat merdeka yang sudah menginternasional melalui nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM, setelah tertangkapnya Terianus Aronggear para stafnya maka sebagai Panglima Perang secara tegas Fermenas Awon di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 memegang kendali organisasi perjuangan atau OPM. Kekuatan gerakan perjuangan kemerdekaan Papua, dikendalikan oleh Tentara Nasional Papua (TPN). Gerakan perjuangan TPN merembes hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan meluas keseluruh Papua Barat.
Dari sini dapat ditarik suatu kesumpulan bahwa konflik yang terjadi di Papua Barat adalah konflik nasionalisme antara nasionalisme Indonesia dan Nasionalisme Papua yang menghendaki kemerdekaan Papua Barat. Dampaknya merembet luas terlihat sampai pada pelaksanaan pembangunan di Papua, upaya kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak aspiratif dan tidak sesuai karakter masyarakat setempat karena memuat muatan politik yaitu, untuk membendung atau membunuh nasionalisme Papua Barat. Namun nasionalisme jutru semakin tumbuh subur dan nampak di ekspresikan dalam berbagai bentuk perlawanan baik dengan bersenjata maupun melalui jalan damai, seperti ber demontrasi dan bahkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang selalu memakan korban.
B. SaranHingga saat ini konflik nasionalisme antara mempertahakan Papua dalam kesatuan NKRI dan kelompok nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan masih terus terjadi. Di masalalu telah memakan banyak korban, maka perlua ada upaya mencari solusi penyelesaian melalui jalan damai. Dalam konteks ini membutuhkan dialog antara semua pihak dan terutama kedua belah pihak yang bertikai dengan menghadirkan pihak ketiga yang menjadi mediator. Sebagimana yang ditawarkan di tawarkan ELSAM Papua, melalui rekomendasinya untuk menjadi masukan bagi semua pihak yang ingin memberikan kontribusi pemikiran dan solusi pemecahan masalah sebagai upaya penciptaan keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua adalah sebagai berikut:
a. Pihak pemerintah penjajah yaitu Indonesia yang didukung oleh TNI dan PORLI dan TPN OPM serta masyarakat Papua sudah saatnya untuk menghentikan berbagai kekerasan dalam bentuk apapun dan kepentingan apapun di tanah Papua Barat dan mencari solusi bersama secara damai, adil dan demokratis
b. Pemerintah penjajah yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat harus membuka diri, waktu, tempat dan mecari fasilitator yang menengahi rakyat Papua dengan pemerintah penjajah yaitu Indonesia guna menyelesaikan akar permasalahan pemicu kekerasan terhadap warga sipil di tanah Papua Barat.
c. pemerintah penjajah yaitu Indonesia harus segera menarik aparat militer baik pasukan organik maupun non organis dari seluruh tanah Papua Barat dn lebih kasus lagi dari Pegunungan Tengah karena sangat meresahkan dam merusak hak asasi manusia.
d. semua pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat pada umumnya, dan di Pegunungan Tengah pada khususnya harap di adili melalui peradilan HAM ad hoc dan memberi perlindungan serta pertanggungjawaban hukum yang jelas bagi pihak keluarga dan masyarkat Papua pada umumnya.
Dengan begitu akan tampak jelas apa yang dikendaki masyarakat Papua Barat, dan juga apa yang dikehendaki Indonesia. Kalau sampai dialog terjadi dan orang Papua menghendaki referendum ataupun Pepera sebagaiman solusi yang menurut dia paling tepat, efektif, terhormat, bermartabat, sipatik, dan bermoral serta demokratis adalah:
a. Dialog Nasional (Rakyat Papua dengan Indonesia duduk bersama satu meja).
b. Dialog internasional (Rakyat Papua , PBB, Amerika, Indonesia, Belanda duduk bersama satu meja)
c. Meninjau kembali hasil PEPERA (1969)
d. Referendum ulang di Papua Barat secara demokrasi, jujur dan adil.
Resolusi itu berangkat dari peristiwa konflik nasionalisme antara nasionalisme Papua Merdeka dan NKRI yang selama bertahun-tahun telah menyebabkan adanya teror, intimidasi, pembunuhan sampai pembantaian masal semuanya dengan tujuan pengambilan atau perampasan hak-hak dasar orang Papua Barat. Resolusi di atas menjadi upaya pemecahan masalah untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua. Dengan demikian akan menguji hegemoni nasionalisme Indonesia bagi orang Papua Barat, apakah tetap mempertahanakan NKRI atau menghendaki Papua merdeka.
Penulis: Longginus Pekei, Mahasiswa Alumi Universitas Sanata Dharma, Daerah Istimewah Yogyakarta.
0 komentar for "DISKUSI, NASIONALISME & GERAKAN KEBANGSAAN PAPUA"