Latest Stories

Subscription

FREEWESTPAPUANOW!

TOP 5 Most Popular Post

Recently Comments


    PILIHAN BERITA DISINI



Saya Mengintai Kamu !! Saya Mengintai Kamu !!

Translate

News

News

Filsafat Manusia Papua 0 Comments

By Mypapua

Upaya merekonstruksi identitas atau kultur Papua pada saat ini merupakan hal yang sangat penting.
Dikatakan demikian, karena banyak hal menyangkut kultur Papua dirasakan mulai terkikis habis, oleh perkembangan dan perubahan zaman. Pada hal, apa yang merupakan kultur, senantiasa merupakan hakekat dan esensi dari manusia, yang secara universal menandakan “Siapa Dirinya”
Sejarah mencatat, bangsa-bangsa yang masih berdiri di atas kulturnya sendiri selalu menjadi bangsa yang besar dan mampu menghadapi tantangan zaman.

Akankah kita di Papua dapat menjadi seperti itu?
Buku kecil ini merupakan upaya “daur ulang”, materi yang telah dibuat oleh, Dr. J. Boelaars seorang antropolog. Ia telah lama berkecimpung dengan kultur Papua, dan telah menyumbangkan hasil penelitiannya di berbagai media masa, maupun dalam berbagai literasi. Salah satu yang kita pernah ditulis adalah “Manusia Irian”.
Secara khusus, tulisan dalam buku ini diambil dari sebuah media masa yang sudah usang, namun kami merasakan masih ada manfaatnya. Oleh sebab itu, dengan mengandalkan kemauan dan tekad semuanya bisa dilakukan.
Kiranya buku kecil ini dapat dipergunakan oleh siapa saja yang ingin menghayati dan mengetahui “sisa-sisa” pengetahuan tentang manusia yang selalu menamakan dirinya sebagai yang “HIDUP”
(Edt. Bas Nanlohy)
FILSAFAT MANUSIA PAPUA
PENGANTAR
Sekali-sekali di kota metropolitan seperti Jakarta kita pernah mengalami bagaimana waktu menunggu taksi kita berteriak: "taksi cepat ke mari". Ucapan itu diarahkan kepada taksi bukan kepada manusia atau pengemudinya. Begitu pula kalau kita hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba angin kencang membanting pintu dan kita tersuruk akibat terkena tabrakannya, maka dengan spontan kita pasti berkata: "Pintu brengsek”.
Kenyataan ini untuk orang-orang "moderen" di Jakarta, terasa agak samar-samar, tetapi di Papua, peristiwa itu akan di hayati secara hidup.
Bila Orang Papua berada di tengah hutan, maka ia akan bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah perasaan pohon besar di tengah-tengah pohon-pohon kecil? Ia dapat merasakan sikap pohon besar itu. Orang Papua akan melihat bahwa pohon besar yang berdiri anggun pasti angkuh. Pohon itu seakan-akan berkata kepada pohon-pohon kecil, "Apa maumu?".
Bagi manusia moderen, akan mengatakan "binatang yang buas pasti hanya dikaitkan dengan sifatnya yang jahat dan ganas. Matahari dan bulan itu hanya sebatas pada fungsinya sebagai penerang dll”. Tetapi bagi manusia Papua, matahari dan bulan selalu dipandang lebih hidup, matahari dapat berarti sebagai kakak dan bulan sebagai adik. Acapkali dalam satu sub kultur tertentu Matahari dapat disapa dengan hormat sebagai tete. Juga dalam kultur lainnya, Matahari diyakini sebagai seorang ibu yang sedang memikul langit dan bumi dalam nokengnya.
Contoh lainnya yang dapat dilihat dalam pengalaman yang dihayati secara hidup di Papua misalnya; Seseorang berjalan melewati perkebunan kelapa. Pada saat ia memasuki kebun itu, ada sebuah kelapa yang "melihat" orang itu. Menurut kelapa itu, orang ini merupakan musuh tuannya. Saat inilah merupakan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan dirinya dan menimpa kepala orang itu, kemudian kelapa itu menjatuhkan dirinya dan mengena musuh tuannya yang adalah juga sebagai musuhnya, (karena orang itu baru saja menghina, tuannya, pemilik pohon-pohon kelapa itu) kemudian musuh itu tertimpa kelapa dan mati seketika.
Pengalaman lain lagi, Seorang suami pada hari sebelumnya menangkap ikan. Ketika dia pulang ke rumah, sambil memikul dayung di pundaknya dan membawa hasil tangkapannya, ia melihat meja makan dan tidak ditemui makanan di atasnya dan ia menyadari bahwa isterinya belum memasak makanan. Ia kemudian marah, lalu memukul isterinya dengan dayung. Tetapi dayung itu adalah hadiah dari keluarga isterinya. Hari berikutnya sang suami kembali kelaut untuk menangkap ikan sambil mendayung perahunya. Tiba-tiba dayung itu patah di dalam tangannya. Dayung itu membalas dendam; dia tidak mau diperlakukan sebagai alat pemukul wanita dari suku yang membuatnya.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka dapat dilihat bahwa Mentalitas yang muncul berasal dari suatu pandangan dan pendapat, bahwa alam semesta, yaitu langit dan bumi, darat dan laut, hutan dan rawa, tumbuhan, binatang dan manusia merupakan "hadirin-hadirin" (peserta) yang turut serta ambil di dalam dunia. Semua hadirin tersebut baik benda mati maupun makhluk hidup memiliki nilai yang sama dan dapat dirasakan sebagai hadirin yang sama-sama hidup atau yang antropomorf, yaitu dapat hidup dengan pikiran, emosi dan kemauan, seperti manusia.
Para "hadirin" yang hidup itu, saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, hal itu dilakukan secara kelihatan atau empiris (dapat ditangkap oleh panca indera) atau secara tak kelihatan non-empiris bagi orang Papua.
Orang Papua melihat bahwa Kosmos adalah satu wujud yang sangat vital. Kosmos mewujudkan dan meragakan diri dalam ribuan bentuk, gejala dan rupa.
Atas dasar tersebut, maka muncul satu pertanyaan penting bagi manusia Papua, yaitu bagaimanakah ia dapat selalu mengambil bagian dalam kekuatan hidup, baik untuk menambah kekuatan itu, maupun untuk menghindarkan pemerosotan kekuatan dari dalam dirinya. Ia telah hadir bersama-sama dengan seluruh kenyataan alam, ia sudah berpartisipasi di dalamnya. Bagaimana paitisipasi itu dapat ditingkatkan? Bagaimana mencegah kemunduran partisipasinya?
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menerangkan tiga jawaban orang Papua atas pertanyaan tadi, yakni jawaban dari suku bangsa Marind, Suku bangsa Yah’ray dan suku bangsa Asmat. Jawaban yang mereka berikan adalah menyangkut cara hidupnya dan cara berpikirnya. Inilah cara yang digunakan oleh orang Papua untuk mempertahankan diri dalam lingkungan para "hadirin", untuk berada dan berpartisipasi dalam kosmos itu.
JAWABAN SUKU PERAMU
Dalam upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan di atas, penulis mencoba mengamati dua jenis suku bangsa. Suku bangsa jenis pertama adalah suku bangsa yang bisa digolongkan sebagai suku peramu. Tipe manusia peramu adalah menghayati suatu kehidupan dengan cara; mengumpulkan, memetik, menangkap apa yang dibutuhkan untuk hidupnya dari alam semesta secara langsung. Tiga suku yang diteliti dan tergolong ke dalam jenis ini adalah, suku bangsa Marind-anim, Yah'ray, dan Asmat. Suku bangsa jenis kedua adalah yang sudah mengenal cara bercocok tanam dan berkebun.
Suku bangsa Marind mempunyai satu istilah yaitu Dema, yang tidak boleh diganti atau disamakan begitu saja dengan istilah Deva.
"Dema" menunjuk pada suatu wujud pra sejarah (zaman mitis), yang mencipta dunia ini, namun wujud ini sendiri punah. Tetapi wujud ini sebenarnya tetap hidup dalam hasil ciptaannya. Semua hal itu merupakan suatu penjelmaan Dema atau yang berhubungan dengan Dema, seperti barang-barang tertentu yang sangat dihormati.
Bagian-bagian kosmos menjadi milik sakral salah satu dari klan Marind. Dalam tiap-tiap Klan akan mengenal sub klan. Klan dan sub Klan memelihara milik sakral mereka dan dengan demikian seluruh hadirin (bagian-bagian) dunia diperhatikan.
Ada Klan yang berhubungan dengan Matahari, ada yang berhubungan dengan bulan, pantai, pedalaman, musim kemarau, musim hujan, kelapa, anjing, babi, kangguru, buaya dan lain-lain.
Sistem kepercavaan ini sering disebut sistem totemisme. Namun harus dicatat bahwa bukan tiap buah atau tiap ekor dari salah satu jenis yang dipandang sebagai penjelmaan dema dengan mutu yang sama. Tetapi mengarah kepada pengertian penjelmaan dalam eksemplar yang luar biasa besarnya dan terbukti secara khusus. Sebetulnya diharapkan bahwa tiap wujud mencoba membenarkan "kedemaannya" setinggi-tingginya.
Kosmos sebagai keseluruhan dema atau totem, bagi orang Marind terbagi atas dua bagian seperti; matahari lawan bulan, siang lawan malam, tanah kering lawan tanah basah, kelapa lawan sagu, pria “kejantanan” lawan wanita “kebetinaan”. Keseluruhan ini ditujukan guna mempertahankan kekuatan hidup para hadirin kosmos. Oleh sebab itu segala yang Jantan harus bersetubuh dengan segala yang betina. Persetubuhan adalah tindakan sakral yang utama. Sesudah si pria "mati" dalam Wanita, si pria harus membebaskan diri -dengan susah payah- untuk berkembang biak, laki-laki akan mencapai puncak energinya dan sesudah itu ia merosot, menjadi tua dan menghilang sebagai pribadi yang terjelma dalam diri anaknya.
Proses siklis kesuburan itu (mati-hidup-mati) dilukiskan dalam mitos tentang Waba dan Waliwamb. Mitos ini dapat dilihat sebgai berikut; Seusai pesta atau keramaian, maka Waba akan mencari gadis Waliwamb dan menemukan dia di pantai barat. Pada waktu senja mereka bersetubuh. Akan tetapi tak dapat melepaskan diri dari Waliwamb. Pasangan itu kemudian ditutup dengan tikar dan dibawah ke pantai timur, di mana pada pagi hari Dema Aramem membebaskan Waba dari gancetan persetubuhan. Pembebasan itu menciptakan api, maka terjadilah api. Waba ialah matahari, Waliwamb ialah bumi. Kehidupan manusia dilambangkan dengan perjalanan matahari.
Inisiasi muda-mudi dipandang sebagai suatu perlepasan generasi muda dari dunia (gelap) wanita untuk berkembang menjadi suatu matahari muda, yang kemudian akan memasuki jenjang perkawinan, hidup berumah tangga dan menjadi tua.
Pada acara inisiasi itu, (beberapa tahun lamanya) anak-anak belajar cara-cara pembagian dunia dalam totem-totem dengan melihat pentasan lakon tentang mitos tersebut, sedangkan bahan makanan totem tertentu dipersiapkan dan dicampur dengan air mani orang-orang tua. Pada pesta pernikahan kawan-kawan seklan bersetubuh dengan wanita, yang dinikahi oleh satu anggota klan tertentu.
Hebatnya kehidupan seksual tersebut, mengakibatkan kedemaan yaitu makna kerohanian dalam kosmos dapat diwujudkan, ditatar, ditingkatkan. Lewat kehidupan seksualnya orang Marind-anim sendiri mampu menambah kesuburan dunia totem-totem, yaitu dunia tumbuhan, binatang dan manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
MANUSIA YAH’RAY
Suku bangsa Yah'ray yang mendiami daerah di atas muara sungai Digul memperkuat daya hidupnya dengan pengayauan. Pada masa Belanda, dibangun pos militer di tempat pertemuan sungai Mappi dan sungai Digul untuk menghalangi "orang Mappi" mengayau sampai di Tanah Merah dan Muting.
Filsafat mereka yang melegitimasikan kelakuan agresif ini, dapat ditemukan dalam satu mitos dan dalam acara-acara pesta sesudah suatu perjalanan pengayauan.
Isi mitos itu sebagai berikut; Suatu ketika matahari memanggil orang Yah'ray, agar mereka semua berkumpul di bukit yang bernama Gaino. Matahari berkata kepada Orang Yah’ray, "Kepada kamu, aku akan memberikan sesuatu yang berharga."
Namun di sana, selain berkumpul para pria dan wanita, duduk pula seorang perempuan tua di bukit Gaino itu. Kepada orang-orang yang berkumpul itu, Matahari memberikan perintah untuk mengusir wanita tua itu. Kemudian kaum Laki-laki berusaha mengusir wanita itu, tetapi usaha mereka sia-sia.
Kemudian matahari menjatuhkan kulitnya dari langit. Tetapi yang terjadi adalah kulitnya ditangkap oleh wanita tua itu dan kulit itu dimakanya. Sesudah itu, wanita tua ini menjelma menjadi seekor ular dan menghilang dengan cara masuk ke dalam lubang tanah.
Matahari berkata kepada orang Yah’ray, "Karena kamu tidak berhasil merebut kehidupan yang kekal, yang aku berikan, maka sebaiknya kamu berperang dan penggalah kepala orang lain dengan pisau bambu". Matahari sendiri kemudian membuang pisau-pisau bambu dan tombak-tombak dengan sebuah amanat untuk mereka yaitu mereka harus menikam orang atau saling menikam dan memakan daging orang yang ditikam.
Matahari adalah lambang satu Deva tertinggi, yang disapa dengan kata tete, yang dipandang sebagai hakim atas tingkah-laku manusia, atas hidup dan mati. Matahari telah rela memberikan kepada manusia suatu kehidupan yang kekal, Tetapi dalam persaingan dengan wanita tua waktu itu, manusia telah kalah. Oleh sebab itu Manusia ditolong untuk memegang kehidupan dalam tangannya sendiri yaitu dengan cara membunuh semua musuhnya.
Orang Yah'ray sendiri dalam menjawab pertanyaan tentang motivasi pengayauan mereka dengan kata-kata: maqatier, yang berarti supaya hidup mereka abadi, dan jameer, yang berarti, supaya mereka berpesta. Jawaban kedua ini dapat dimengerti dengan mudah.
Sesudah pulang dari pengayauan, biasanya pria-pria yang berhasil membunuh, diizinkan memotong pakaian kabung wanita yang baru menjanda. Mereka juga diberi kesempatan untuk menginisiasikan anak-anaknya. Jika mereka belum menikah secara resmi, saatnya bagi mereka untuk menjalankan upacara pernikahan secara resmi. Dan akhirnya tanda-tanda jasa, seperti tingkatan-tingkatan (pangkat) dalam militer, diberikan. Sesudah pesta mulai berakhir, para hadirin berjalan dalam satu barisan, dan orang tua-tua akan berkata, “Matahari, sekarang kami telah melakukan apa yang kau perintahkan, janganlah isteri-isteri kami meninggal waktu bersalin, jangan!”
Tengkorak musuh tidak dihormati sebagai suatu sumber kekuatan. Orang Yah'ray membutuhkan tenkorak itu sebagai lambang dan bukti keberaniannya. Dan tengkorak itu digunakan untuk menjamin peningkatkan partisipasi mereka dengan kekuatan matahari dan kekuatan kosmis. Namun acapkali suku bangsa ini, yang selalu berusaha meniru matahari, menyadari bahwa mereka juga pasti mengalami kekalahan dan juga kekalahan dalam ketakberanian. Oleh sebab itu, mereka menghias diri dengan tanda perhiasan dari bulan (gigi taring sebagai lambang bulan sabit), karena bulan merupakan lambang kelemahan. Mungkin karena itu, suku ini sanggup menertawakan diri sendiri dan mengolok-olok teman-teman tanpa resiko dimarahi. Humor atau lelucon yang mereka ceritakan bersifat menyelamatkan, dari kejenuhan terhadap kesungguhan perang (seriousness), tetapi dengan humor mereka menemukan force majeur, yang dapat mengalahkan mereka.
MANUSIA ASMAT
Suku bangsa Asmat konon dikenal karena seni ukir mereka. Motif-motif ukiran mereka dapat menerangkan filsafat manusia-manusia Asmat. Motif-motif yang dibuat, merupakan binatang-binatang yang hidup dari buah-buahan. seperti burung enggan, kuskus, belalang sembah dan manusia.
Bila diperhatikan, maka ada satu motif yang dominan dalam ukiran suku Asmat, yaitu motif binatang yang memakan buah. Simbolik “makan buah" digunakan oleh orang Asmat untuk menerangkan posisi manusia dalam makro dan mirko-kosmos. Menurut mereka, seorang anak yang ada di dalam kandungan ibunya akan makan dari ibunya. Demikian pula manusia dalam kandungan alam semesta dan di dalam kandungan masyarakat, akan makan dari alam dan dari masyarakatnya.
Dengan perkataan lain: suami dan isteri dalam melakukan persetubuhan akan makan buah yaitu kemaluan laki-laki akan makan kemaluan pasangannya, atau dalam perang, tombak akan makan buah, yaitu badan musuh, dan buah tengkoraknya dibawa pulang ke rumah.
Manusia yang diukir ialah manusia yang meninggal atau dibunuh dan telah dimakan. Ukirannya memperingatkan masyarakat bahwa manusia itu belum dibalas, oleh karena itu jiwanya belum bahagia di akhirat.
Proses makan dan dimakan berlangsung secara dahsyat. Waktu belalang sembah betina sedang dalam persetubuhan, ia membunuh pasangan jantannya dan makan badannya. Hal itu berguna bagi perkembangan anak-anak mereka. Musuh diberi hak membalas. Dan seorang yang telah membunuh orang, diperbolehkan menemui keluarga yang dibunuh, dan di keluarga berduka itu disana ia akan dihormati. Memang dikemudian hari, keluarga korban (musuh) akan mencoba membunuh kawan dari tamu itu.
Jadi prinsip terdalam dalam hidup orang Asmat ialah, adanya saling balas-membalas antara kebaikan dan kejahatan. Pelaksanaan prinsip itu diramaikan dengan pesta-pesta, pidato-pidato, tarian-tarian sepanjang malam. Khususnya sangat dipentingkan adalah pembalasan atas kematian atau pembunuh karena kebahagiaan arwah di akhirat orang yang meninggal tetap menuntut pembalasan itu.
Orang yang mati itu berfungsi mengirimkan jiwa kedalam bayi di dalam kandungan ibu-ibu. Hal itu berarti bahwa partisipasi dalam kehidupan kosmos berada dalam tangan manusia sendiri dan diwujudkan dengan menaati hukum pembalasan.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan di atas bisa diambil kesimpulan sementara, bahwa:
1. Orang Marind menambah partisipasi mereka dalam daya hidup kosmos dengan selalu mempersatukan unsur jantan dan unsur betina, khususnya dalam kehidupan seksual yang intensif di antara pria dan wanita. Jalan mereka adalah jalan kesuburan seksual.
2. Orang Yah'ray meningkatkan partisipasi mereka dalam daya hidup kosmos dengan membenarkan dan memperbarui keberanian berperang (courage to be). Jalan mereka ialah jalan meningkatkan kekuatan sendiri (by doing).
3. Sedangkan orang Asmat meningkatkan partisipasi mereka dalam kehidupan kosmos dengan menaati hukum balas-membalas di antara orang hidup dan di antara orang hidup dan orang mati.
JAWABAN SUKU BERKEBUN
Suku-suku bangsa yang akan dibicarakan pada bagian kedua ini, adalah suku-suku bangsa yang selalu berkebun. Tipe manusia berkebun adalah senantiasa menghayati suatu kehidupan dengan cara "membuka hutan, menggali selokan, menimbun tanah hingga menjadi petak, menanam ubi-ubian atau ubi jalar, menyiangi dan pada waktunya pula menggali hasil kebun itu.
Di samping bekerja kebun, mereka memelihara babi yang dapat dijual. Hasil peternakan dan perdagangan itu dimasukkan ke dalam mas kawin pada perkawinan di dalam klan (inter klan) mereka. Suku bangsa yang tergolong dalam kelompok ini adalah suku Muyu, Dani, Ekari dan Ayfat.
Suatu hal yang amat dirahasiakan oleh orang Muyu ialah upacara yang disebut sebagai "makan babi pemali" oleh para pria dewasa, yang sudah diinisiasikain. Upacara itu mendahului pasar penjualan babi, dan upacara itu merupakan bentuk keramaian yang besar di daerah Muyu. Upacara makan itu merupakan peringatan ritual atas suatu perjamuan yang pertama.
Pada zaman mitis telah diadakan perjamuan pertama yang memerintahkan untuk memakan babi-pemali asli. Mitos tentang babi dan hubungannya dengan pasar babi, membentuk dasar pandangan hidup atau filsafat orang Muyu.
Dengan singkat Mitos itu dapat dikisahkan sebagai berikut: Seorang anak mantu pada malam hari mencuri makanan ubi-ubian dari kebun mertuanya. Ibu mertuanya merasa heran atas hilangnya ubi di kebunnya. Kemudian ibu mertuanya menyihir tanaman dan mengguna-gunai ubi-ubian di kebunnya. Pada malam berikutnya anak mantu itu masuk lagi kekebun dan mencuri ubi-ubian, ketika ia mencuri, kemudian hal aneh terjadi pada dirinya, ia terkena sihir dan berperilaku seperti babi dan masuk ke dalam perangkap babi yang telah dipasang di kebun itu. Orang-orang di kampung bermaksud membebaskannya dari perangkap, tetapi ia tidak mau ke luar. Ia justru memohon kepada orang-orang untuk membawa semua makanan (barang) yang sebenarnya hanya dibutuhkan seekor babi. Kemudian dia menyuruh orang memanah dia dan membagi tubuhanya menjadi dua bagian. Bagian belakang boleh dimakan oleh wanita. Sedangkan bagian depan harus dimakan oleh pria-pria di suatu tempat sakral yang ditunjuk. Kemudian orang kampung menangkanya dan memvawanya ke tempat yang dimaksud. Sesampai di tempat sakral, kemudian tubuhnya disembelih, dan dipotong-potong, tetapi kepala babi sakral tersebut masih dapat berbicara. Dia mengatur suatu pola hidup yang khusus bagi para penganut aliran kepercayaannya.
Memang sulit sekali memperoleh keterangan dari orang Muyu sendiri tentang arti dongeng itu. Keterangan yang cocok dengan karakter orang Muyu sendiri lalah, bahwa babi pemali itu yang masuk dalam situasi darurat dengan sadar dan tekun menerima nasib yang tertimpa atasnya. mereka menerima secara konsekuen akibat perbuatannya sendiri. Anak mantu yang mencuri makanan, disihir, dan masuk kedalam perangkap serta menerima putusan dibunuh dan dimakan. Sikap ini, menunjukkan sikap untuk berani menerima dan bertanggungjawab atas perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan sendiri, dan bersedia menerima hukuman yang ditimpakan kepadanya. Dengan sikap demikian (sama halnya) memberi kepada anak mantu itu hak dan kemampuan mengatur pola hidup manusia dengan membuat peraturan, tabu dan pantangnya untuk orang yang rela menurut sikap dasar itu.
Sikap itu adalah sikap seorang yang pantang mundur sesudah menangani suatu usaha berkebun, memelihara babi, berdagang, mengatur perkawinan, menuntut pembayaran hutang. Manusia yang menghayati sikap demikian, juga dalam situasihidup yang suram dan sulit akan berhasil dan menang, la dapat mengurus suatu pasar babi dan dengan demikian akan menjadi kaya (memiliki banyak uang siput) dan dalam kekayaannya menjadi maha kuasa atas urusan hidup dan mati bagi orang di sekitarnya. Kekayaan, akan menjamin partisipasinya dalam daya kosmis.
Suku lain dalam kelompok ini adalah suku Dani yang mendiami lembah Balim, lembah yang subur di pegunungan Jayawijaya. Penghuni lembah itu disebut suku bangsa Dani. Beberapa pria dengan isteri (sering poligami) dan anak-anak, membentuk suatu unit pemukiman yang terdiri dari rumah (=Honai) laki-laki, rumah-rumah isteri dengan anak. Jumlah rumahnya sering tidak lebih dari dua atau tiga, dilengkapi dengan sebuah dapur umum dan sebuah kandang babi umum.
Tiap unit dikelilingi pagar. Sejumlah keluarga memiliki satu kebun besar bersama, yang dipagari. Beberapa unit keluarga membentuk suatu desa, beberapa desa membentuk satu konfederasi yang merupakan suatu kesatuan perang.
Di antara bidang-bidang tanah konfederasi-konfederasi itu terdapat bidang-bidang tanah kosong yang berfungsi sebagai batas pemisah antara mereka dengan musuh-musuhnya, yang dijaga sebelah-menyebelah oleh seorang di atas tiang yang tinggi. Konfederasi-konfederasi berfungsi membantu klan-klan, yang pada waktunya berperang dengan klan-klan dari konfederasi lain. Siapa beperang dengan siapa ditentukan oleh tradisi bersejarah.
Rupa-rupanya keberanian pria-pria yang dipamerkan di medan perang menjadi dasar kewibawaan mereka dalam keluarga (jumlah isteri) dan dalam desa atau konfederasi (panglima perang). Puncak perayaan orang Dani ialah perayaan pesta babi, yang dijadikan kesempatan mengadakan peresmian perkawinan muda-mudi, inisiasi anak-anak dan pemberian imbalan oleh orang yang berkabung kepada orang yang bejasa pada ritual pembakaran mayat. Makanya dalam pesta ini rite-rite peralihan yang penting dilaksanakan dengan keramaian besar dan meriah.
Justeru adanya hubungan baik dengan keberhasilan dalam perang maupun keberhasilan dalam menjalankan rite-rite peralihan, orang Dani mendekati leluhur mereka, khususnya leluhur pahlawan, yang tewas dalam perang. Penghormatan terhadap leluhur itu dilakukan melalui penghormatan batu-batu sakral (kayu sakral, dan noken sakral), yang mewakili kehadiran pahlawan itu.
Beberapa dongeng membantu kita merumuskan latarbelakang hidup dan filsafat orang Dani. Menurut dongeng tentang asal-usul dikisahkan bahwa; binatang dan manusia muncul bersama dari sebuah gua di leher gunung tertentu Ibu mereka adalah matahari, yang pada waktu itu masih dekat bumi. Matahari atau ibulah yang memanggil mereka ke luar. Akan tetapi matahari itu mengundurkan diri pada waktu manusia mulai berperang di antara mereka.
Di bawah pimpinan manusia yang pertama, orang Dani mulai mencari tempat-tempat bagi klan dan seorang ibu asal membagi klan itu menjadi dua kelompok (moiety), di mana klan yang satu mencari wanita dalam klan yang lain. Salah satu burung menjadi bahan pantang makanan bagi suatu klan tertentu.
Sebuah dongeng dikisahkan bahwa, dalam perlombaan, burung kalah terhadap ular. Dengan demikian ular merebut kehidupan kekal, Manusia memihak burung, tidak suka bergaul dengan ular, sebab itu tidak menantikan kehidupan abadi.
Sikap orang Dani terhadap gejala-gejala modernisasi justeru menerangkan sekali lagi sikap mereka. Menarik sekali bahwa larangan perang di dalam klan (inter klan) secara tradisional, yang ditetapkan oleh pemerintah dan larangan "persembahan" benda sakral (kaneke dan tugi) yang dikeluarkan oleh zending dan misi, sama sekali tidak membongkar moralitas orang Dani. Rupa-rupanya bentuk-bentuk berasal dari kebudayaan mereka dan sulit dilepaskan dengan gampang, karena yang dilepaskan adalah bukan unsur-unsur inti. Unsur inti dari mentalitas orang Dani ialah: kemauan keras mengurus dirinya sendiri serta dunianya, menurut pola tradisional leluhur, tetapi pola itu, dan leluhur mengerti juga tak dapat dipertahankan karena perubahan zaman.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi orang Balim, kekuatan kosmos dipertahankan dalam kehidupan mereka, jika mereka sendiri mengatur kehidupan itu sebaik mungkin. Bukan pola hidup tradisional yang menyelamatkan (seperti rahmat yang turun dari dunia leluhur) melainkan pikiran dan tangan mereka sendiri yang akan menyelamatkan kehidupan mereka. Inklusif lelucon atau humor itu, yang perlu merelativir bentuk dunia lama dan dunia baru lagi. Mempertahankan "holim" (koteka berarti: "Kami mengurus dunia kami, bukan kamu dengan perintah-perintahmu. Pada saat kami suka, kami mengganti holim itu dengan pakaian moderen, karena baik holim kami maupun pakaian moderen kamu tidak mutlak."
Suku bangsa lain dalam kelompok berladang adalah suku bangsa Ekari yang mendiami sebelah menyebelah danau-danau Paniai-Tage-Tigi. Filsafat manusia Paniai mengenal dua aliran. Aliran pertama dianuti penduduk daerah barat, sedangkan yang lain dianuti penduduk daerah timur. Dua aliran saling pengaruh mempengaruhi, akan tetapi sebagai dua aspek sebaiknya dibedakan. Di daerah barat, gambaran dan fungsi wanita dalam kehidupan harian digunakan sebagai lambang untuk menerangkan situasi manusia dalam dunia. Seorang wanita boleh berfungsi sebagai seorang nenek tua dan dalam fungsi itu dia dibandingkan dengan matahari.
Matahari -nenek tua- itu menghidupkan segala-galanya, atau dengan rumusan lain, nenek tua memikul segala-galanya dalam jala pikulnya (noken) dan dengan demikian menjamin keadaan dan kehidupan keseluruhan kosmis. Akan Tetapi yang secara, konkrit menghidupkan ialah sinar matahari dan itulah puteranya.
Seorang wanita boleh berfungsi juga sebagai ibu rumah tangga dan dalam fungsi itu dibandingkan dengan bumi. Ibu bumi mengalas segala-galannya dan dengan demikian itu merupakan lantai rumah, Baik sebagai bumi, maupun sebagai lantai rumah, diharapkan tidak mempunyai lubang-lubang. Anak dilarang masuk kedalamnya. Anak bisa jatuh ke bawah. Dengan rumusan lain bahwa; ibu akan membuka paha-pahanya sehingga anak di pangkuannya mendapat kecelakaan. Selalu melalui lubang-lubang pada lantai atau pada permukaan bumi muncul kejahatan. Dikatakan, melalui kelemahan wanita, dunia (pria) diancam, tidak berjalan dengan lancar. Walaupun fungsi ibu rumah tangga amat dihargai, namun ditetapkan bahwa di atas alasan itu berdiri tiang raja yang menopang rumah dan dengan itu ruang kehidupan harian terjadi. Tiang raja adalah suami dari ibu itu. Seorang wanita boleh berfungsi lagi sebagai mertua dan dalam fungsi itu ia dibandingkan dengan air yang berada di bawah bumi. Air itu membentuk sebuah ancaman tetap bagi manusia. Dari bawah itu juga terdapat pula sinar pria yang mempengaruhi dunia. Situasi mutlak ini dan hal abadi itu, dinamakan orang Ekari sebagai "hal sejati”, yang tetap kuat (maa). Akan tetapi mereka menekankan bahwa latar belakang abadi itu tidak relevan bagi mereka (sebagai suatu ideologi belaka). Yang relevan untuk mempertahankan hidup ialah perwujudan kongkrit dari fasilitas-fasifitas yang wanita ”latarbelakang” itu tawarkan. Sinar pria, tiang raja, pendeknya apa yang si pria lakukan dengan bahan (yang wanita adakan) itulah yang relevan, penting, serta patut ditonjolkan. Si pedagang pria yang memanfaatkan hasil kebun dan hasil ternak babi (yang keduanya disumbangkan kepada wanita). Jika itu dilakukan, ia akan menjadi seorang manusia yang terhormat. Koteka membuktikan di mana martabat manusia dibenarkan. Situasi dan kondisi pria itu di ancam dalam perebutan gengsinya oleh kemalasan dan kenakalan wanita.
Akan tetapi, seperti dikatakan di atas, orang Ekari berpendapat bahwa hanya si pria laku, dipertahankan, mungkin dipamerkan, namun dalam kehidupan tak resmi atau sehari-hari antara si pria maupun si wanita menyadari di mana posisi atau jasa pria dan di mana jasa wanita. Suatu persaingan prestise (sedangkan tiap partner dibantu oleh klan asalnya sendiri) berjalan terus-menerus.
Di daerah timur gambaran seorang tete besar lebih penting. Menurut dongeng yang dianut, dikisahkan seorang pemuda memanjat pohon dan menemukan seorang bapak di atas pohon, dalam rumahnya. Pada waktu pemuda itu hendak pulang, bapak tua itu menawarkan segala hal yang baik kepadanya. Akan tetapi pemuda hanya mengambil satu kantung yang tergantung di dinding. Kantung itu akhirnya diberikan kepadanya. Akan tetapi isinya adalah hal-hal yang menyangkut kesalahan berzina dan kematian.
Orang Ekari, yang melebihi gengsi pria dalam pembentukan dunianya, tidak menyadari bahwa justeru si pria karena keras kepalanya selalu digoda untuk berbuat zina, dan itu merupakan suatu hal yang mendatangkan maut.
Baik di daerah timur maupun di daerah barat, orang Ekari menanggung nasib dan tanggungjawabnya dalam tangan sendiri. Di satu pihak dengan teknik jasmani biasa dan di pihak lain dengan teknik rohani yang ajaib. Sedangkan orang Ekari cukup realistis dan pragmatis, mengenal kekuatannya di samping kelemahannya. Mungkin kelemahan tidak diakui publik, akan tetapi kelemahan manusia diinkalkulir.
Suku terakhir dalam kelompok ini adalah suku Aifat yang mendiami daerah kepala burung. Di wilayah tersebut sebenarnya berdiam beberapa suku yang berbicara dalam bahasa Meybrat. Satu di antara suku-suku bangsa itu ialah suku bangsa Ayfat, yang mendiami daerah danau-danau Ayamaru. Sebelum mereka hidup dalam desa-desa, mereka berdiam dalam rumah-rumah tinggi yang luas. Mereka membentuk sekelompok orang yang mempunyai ikatan kekeluargaan ditambah dengan pendatang-pendatang yang semi-permanen. Unit-unit lokal itu adalah eksogam dan bersama-sama membela hak milik tanah, khususnya hak atas kebun mereka. Rupanya dari dulu kala sifat orang Ayfat menonjol sebagai ahli berdagang dan ahli berdiplomasi. Tidak heran bahwa di antara mereka timbul suatu jenis perdagangan, yaitu berdagang "kain-timur" yang pesat sekali perkembangannya. Pusat perdagangan itu, sangat berarti bagi hubungan dasar di antara rekanan dagang yang mencerminkan hubungan erat di antara saudara lelaki dan saudarinya.
Biasanya putera saudaranya dididik dalam rumah saudari ayahnya dan puteri saudari dididik dalam rumah saudara ibunya. Anak-anak dan cucu-cucu mereka itu, terikat dalam suatu kewajiban bertukaran kain timur itu. Selalu terdapat oknum-oknum yang kaya, licik dan fasih berbicara, yang berfungsi sebagai perantara dan saluran perdagangan.
Perdagangan itu berkembang mulai dari suatu bahan tukaran yang murah menjadi suatu tukaran yang mahal, karena dinantikan dari tiap kain yang diberikan, ialah kain yang lebih mahal, bila kelak dipulangkan. Kain jang lebih mahal itu ditawarkan kepada orang lain, yang harus memulangkan berupa kain yang lebih mahal lagi. Memberi dan menerima kembali ini membentuk suatu permainan sosial yang amat menarik karena tingginya tingkat ketegangan. Menunda pengembalian atau menolak dengan keras imbangan yang dituntut dapat disiksa dengan racun yang membawa maut.
Pertukaran ini memberi satu dukungan pada gejala-gejala peralihan dalam kehidupan manusia semua yakni melalui kelahiran, perkawinan dan kematian. Perayaan-perayaan itu meningkat bobot dan ramainya dengan pertukaran ini. Malahan filsafat orang Ayfat berpendapat bahwa perjalanan secara lancar dari permainan sosial itu di dalam masyarakat (mikro-kosmos) menjamin kelancaran perjalanan makro-kosmos. Makro-kosmos di sini berarti: hubungan manusia yang hidup dengan orang yang mati, hubungan dunia ini dengan dunia akhirat, jika seorang meninggal, apalagi meninggal secara mendadak, pasti terdapat warisan utang-utangnya. Selama beban utang itu belum dibayar atau dilunasi, arwah itu masih diperlakukan sebagai arwah orang jahat. Arwah yang jahat itu akan mengganggu keluarganya melalui praktek "suanggi” dari seorang wanita yang dirasuki oleh roh jahat. Penebusan arwah membuat arwah menjadi leluhur yang baik, yang dapat dimintakan bantuannya.
Khususnya dalam acara-acara ritual bagi orang yang mati, dirangkumkan secara baik melalui tebusan material bagi orang mati, maupun dalam inisiasi terhadap anak-anak dan perkembangan seksual muda-mudi sampai perkawinan mereka. Perkawinan itu menetapkan suatu basis untuk membangun rekanan-rekanan baru bagi permainan adat itu. Di bawah permainan sosial di antara orang hidup dan orang mati, manusia Ayfat percaya kehadiran permainan yang lain. Permainan yang terdiri dari pergumulan dua kekuatan kosmis, yaitu kekuatan dingin atau jantan dan kekuatan panas atau betina. Kekuatan betina memainkan peranannya melalui dunia wanita, yang selalu mengelolah kebun-kebun dan memiliki kain-kain timur. Sedangkan kekuatan jantan berada pada kaum pria, yang memegang aktivitas perdagangan. Si pria ialah putera atau suami dari wanita pemilik kain itu. Perlu ditambahkan bahwa dalam proses perdagangan suara wanita pemilik itu masih harus didengar. Dominasi wanita sedemikian kuat, sehingga orang Ayfat sendiri berkata bahwa suami dari seorang isteri yang kuat ini diperlakukan sebagai puteranya. Aspek humoristis itu, bahwa si pria bermain sebagai yang maha kuasa, sedangkan semua penonton melihat ketergantungannya pada suara isterinya, dinikmati oleh orang Ayfat sendiri, malahan lelucon itu dipentaskan dalam sandiwara-sandiwara mereka.
Filsafat manusia Ayfat merupakan sebuah filsafat saudagar. Perimainan jual-beli merupakan suatu permainan yang melepaskan energi sosial guna suatu pertalianan dunia yang intensif. Pertahanan itu terletak dalam tangan manusia sendiri. Realisme mereka muncul pada sekaligus melihat humor dalam kelakuan manusia yang tidak dapat membenarkan statusnya yang sungguh-sungguh.
Berdasarkan pengamatan di atas, bisa kita mengambil kesimpulan sementara sebagai berikut:
1. Orang Muyu menambah partisipasi mereka kepada daya hidup kosmos dengan menghayati kabar wahyu babi pemali, yaitu: dalam situasi darurat pantang mundur, gunakan kemungkinan yang masih diberi.
2. Orang Lembah Balim menambah partisipasi mereka. kepada daya hidup kosmos dengan mengatur dan melaksanakan pola hidup mereka sesuai dengan contoh teladan nenek moyang atau pahlawan sejauh sekarang mungkin.
3. Orang Ekari menambah partisipasi mereka kepada daya kosmos dengan memanipulir sendiri kekuatan jasmani-rohani dengan teknik profan dan sakral sepragmatis mungkin. Pada akhimya orang Ayfat menambah partisipasi mereka kepada daya hidup kosmos dengan melakukan permainan sosial komersial dalam masyarakat dan dengan demikian membenarkan kegiatan prinsip jantan dan prinsip betina dalam pergaulan abadi mereka.
PERTEMUAN KEBUDAYAAN SUKU DAN MODERNISASI
Suatu rangkuman singkat dari pokok-pokok yang dibahas di atas tadi membantu kita menarik kesimpulan dan menemukan garis-garis besar filsafat manusia Papua.
1. Orang Marind-anim akan merasa makna hidup, sejauh ia menghayati kedemaannya, sejauh ia bersetubuh dan melepaskan diri, sejauh ia berkembang, jadi terbenam dan hidup kembali pada pagi hari seperti matahari. Mereka yang berhasil dalam proses ini menamakan dirinya anima, manusia sejati, jika anggota semua Klan berlaku begitu, dunia manusia terjamin dalam keseluruhan kosmos.
2. Manusia Yah'ray memperbarui dunianya dengan menghidupkan keberanian hidupnya. Jika dia berhasil, dia mirip dengan matahari, tetapi kalau dia gagal dia mirip bulan.
3. Manusia Asmat mencari keseimbangan melalui suatu kegiatan balas-membalas yang baik dan yang jahat. Pembalasan ini bertujuan mempertahankan pergaulan orang hidup dan orang mati dan dengan demikian dianggap terjamin kelanjutan terhadap kehidupannya.
4. Manusia Muyu diselamatkan, jika dia memiliki tahan uji, justeru dalam situasi darurat.
5. Manusia Dani membenarkan pola hidup leluhur baik di medan perang maupun di medan perayaan siklus peralihan usia, dengan satu common sense terhadap relatifitas pola-pola adat.
6. Manusia Ekari meneruskan cara hidupnya dengan memberi posisi yang lebih tinggi dan peranan yang lebih besar pada golongan pria di hadapan umum, sambil memberi ruang gerak kepada wanita dalam kehidupan sehari-hari. Menjunjung tinggi pragmatisme untuk mempertanggungjawabkan dunianya.
7. Manusia Ayfat mengambil bagian dalam pergumulan kejantanan dan kebetinaan di kosmos dalam kegiatan berdagang. Mereka peka melihat di mana hidup letaknya kewibawaan yang benar.
Bahan-bahan itu membantu kita menarik kesimpulan yang berikut:
1. Manusia Papua tidak menantikan keselamatannya dari suatu dunia "atas", suatu dunia roh tertinggi atau suatu dunia arwah. Mereka berpendapat bahwa mereka sendiri akan menyelamatkan dunia mereka, jika mereka menaati pola hidup tradisional.
2. Penyelamatan tidak disamakan dengan suatu "hadiah" dari salah satu atasan siapa pun juga. Keselamatan merupakan akibat otomatis dari energi mereka, dalam menggunakan akal yang tepat.
3. Memang ketahanan dan kelanjutan makro-kosmos bukan tergantung dari mereka, Makro-kosmos menyelamatkan diri, akan tetapi ketahanan dan kelanjutan mikro-kosmos atau masyarakat mereka itulah tanggung jawab mereka.
4. Makro-kosmos boleh memberi fasilitas-fasilitas. Akan tetapi penggunaan fasilitas tertentu itulah tugas mereka.
5. Mereka berpandangan seperti dikatakan dalam pendahuluan, bahwa seluruh kosmos merupakan suatu wujud hidup yang mampu mengerti, berkemauan, mempunyai emosi dan bahwa manusia seperti sebagian para hadirin dapat mengambil bagiannya sendiri. Sendiri berarti dengan menggunakan pikiran dan hati sendiri, tanpa pimpinan dari atasan siapa pun juga.
Mengapa orang Papua itu tidak menantikan keselamatan dari orang lain, dewa atau atasan (cara berpikir Kristen)?
1. Orang Papua hanya percaya pada diri sendiri, pada penggunaan akal yang tepat dari akal-akal biasa dan luar biasa, karena mereka merasa diri sebagai bagian yang sejiwa dan sehati dengan semua bagian lain dari kosmos itu.
2. Mereka sendiri adalah kosmos, dan juga menjadi anggota-anggota kosmos. Sehingga mereka mampu menghidupkan diri dalam lingkungan sendiri. Mereka merasa diri suatu roda dalam mesin, suatu proses dalam motor, pragmatis, mekanistis, positivistis. Jika sebuah suku cadang tertentu berfungsi pada tempatnya, maka semua perangkat dari mesin akan berjalan lancar. Dan tidak diperlukan montir yang datang dan memberi perintah pada roda sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
3. Manusia Marind merasa diri animha atau sebagai manusia lengkap. Hal itu dapat terjadi apabila ia dapat melaksanakan kehidupan seksualnya dengan lengkap. Manusia Yah'rav merasa diri selamat, Apabila ia mem benarkan courage to be. Manusia Asmat mengusir arwah, karena yang sekarang hidup, akan mengatur dunia desa sendiri. Manusia Ekari membayar harta. Dan perkawinan adalah sah dan subur. Dan Manusia Dani menghayati pola hidup pahlawan dan terjamin kehidupan harian. Manusia Ayfat menukar kain timur dan pergumulan prinsip jantan dan prinsip betina berjalan terus.
4. Dengan rumusan lain dapat dikatakan: Makro-kosmos merupakan suatu keseluruhan, yang mempertahankan dan melanjutkan kehidupannya sendiri. Kosmos adalah seperti matahari, penuh daya hidup, seperti nenek yang memikul segala-galanya dalam nokengnya, seperti lantai yang menjamin tiang raja. Kosmos adalah wanita, yang memegang modal.
5. Akan tetapi manusia, seperti seorang pria menggunakan fasilitas-fasilitas modal itu untuk dunia ini, mikrokogmos. Manusia adalah sinar matahari yang memberi cahaya, tiang poros rumahnya, berdagang bahan yang disumbangkan wanita (hasil kebun, peternakan, kain timur). Manusia membuat itu dengan memakai segala hal secara terampil dan emosional menurut jenisnya, secara pragmatis.
6. Pengaruh wahyu dan rahmat belum diperhitungkan, karena istilah itu berasal dari suatu filsafat yang lain.
7. Manusia, Papua memperlihatkan sikap realistis yang tegas bahwa di samping sikap menilai tinggi harga dirinya, ia mengembangkan pula kemampuan menertawakan diri dan ditertawakan oleh teman-temannya, juga setiap kali, waktu ia memperhatikan sikap kawan hidup yang melupakan keterbatasannya dan karena itu mengalami kegagalan, ia akan menertawakan tingkah-laku kawan hidup itu di depan orang lain dan di hadapan kawan itu sendiri. Humor sering diungkapkan secara blak-blakan dan terbuka. Namun si pembuat humor (MOB) tidak merasa atau membutuhkan permohonan maaf dari temannya.
Sesudah kita melihat dua garis besar pandangan hidup orang Papua, yaitu: suatu kepercayaan pada kemampuan sendiri dan sikap menerima kekalahannya dengan humor dan tanpa rasa malu, maka ekarang dapat dipahami bahwa masalah yang dapat timbul dari pergaulan antara para pendatang dengan orang Papua. Bentrokan sangat mungkin terjadi berhubungan dengan dua sikap orang Papua di atas.
Seorang pendatang, yang merasa diri dalam banyak hal lebih maju, bila dibandingkan dengan taraf pendidikan orang Papua, sulit menerima bahwa orang Papua tidak dengan sendirinya mengaku dan menerima superioritas pendatang itu. Namun si pendatang itu mungkin lupa bahwa orang Papua, walaupun mengaku bahwa mereka kalah dalam banyak hal, tetapi mereka tidak pernah merasa kalah dalam sikap hidup, yakni dalam sikap mendekati dunia dengan kemauan keras, mencari sendiri jalan kemajuannya, biarpun dengan perlahan-lahan, dengan trial and error.
Seorang pendatang, yang berasal dari suatu daerah di mana kebudayaannya tidak membenarkan seorang dipermalukan, juga tidak diperkenankan jika kesalahannya memang nyata dan diketahui umum, sulit menerima kritik yang dilontarkan secara terus-terang oleh orang Papua, yang tidak terbiasa berdalih-dalih sesuai dengan peradaban dari luar propinsinya.
Pendatang itu dengan mudah dapat mengatakan bahwa orang Papua belum beradab, "durung jawa", akan tetapi si pendatang itu masih dapat belajar dari orang Papua yaitu suatu sikap jujur, ikhlas, juga terhadap diri sendiri.
Humor dikalangan manusia Papua sering memecahkan ketegangan situasi. Bila pendatang dapat terlibat dalam humor orang Papua, itu berarti pendatang bertemu dengan manusia Papua, yang sungguh-sungguh bisa diajak bersahabat. Akhirnya, jika kita memahami dua aspek dari filsafat manusia orang Papua, yang mempengaruhi identitas otentik manusia Papua itu, sebaiknya kita menerima sumbangan mereka dalam memperkaya kepribadian kita di Dunia.

Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

Leave a reply

0 komentar for "Filsafat Manusia Papua"

visit www.loogix.com

Music (Suara Kriting)

Followers