Ilustrasi .: Pelanggaran HAM Berat di West Papua yang di lakukan oleh Pemerintah Indonesia |
Oleh : Selpius Bobii
Sejak bangsa Papua
bagian Barat yang disebut Papua Barat dianeksasi ke dalam NKRI (01 Mei
1963 sampai dengan saat ini), Papua Barat identik dengan "Tanah Penuh
Berlumuran Darah". Tragedi berdarah terus terjadi. Setiap saat ada darah
manusia yang menetes di atas Tanah Papua Barat karena banyak sebab.
Tragedi berdarah kembali
terjadi lagi di Waghete, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai - Papua pada
tanggal 23 September 2013. Peristiwa ini berawal dari "Sweeping" yang
dilakukan oleh gabungan Brimob, Tim Khusus 753 (TNI), Polres Paniai,
Polsek Tigi dan Koramil Paniai (TNI). Apa penyebab terjadinya tragedi
berdarah itu? Dan apa dampaknya? Berikut ini penulis menyoroti latar
belakang peristiwa itu dan dampaknya.
***
Kenapa gabungan TNI dan Polri melakukan sweeping di Waghete? Menurut
Kapolres Paniai, Ajun Komisaris Besar, Sammy Rony mengatakan bahwa
sweeping itu dilakukan untuk mengamankan warga sipil dari praktek judi,
mabuk dan senjata tajam, (sumber:
www.tempo.co/read/news/2013/09/23/058515978).
Namun, faktanya adalah
bukan melakukan sweeping untuk mengamankan judi dan minuman keras
(mabuk), tetapi sasaran sweeping dan penyitaan adalah (1) Senjata tajam
antara lain: pisau, parang, kampak dan panah; (2) Sikop (hand shovel;
(3) Memory HP; (4) Noken bergambar bintang kejora; (5) Warga sipil yang berrambut gimbal dan jenggot panjang.
Barang barang yang disita dalam sweeping, seperti pisau, parang, kampak
dan sikop adalah sarana-sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat
untuk berkebun, karena mayoritas warga sipil di Kabupaten Deiyai adalah
petani perkebunan.
Anak panah juga menjadi
sasaran penyitaan, pada hal anak panah adalah benda tradisional yang
tidak lepas dari kehidupan suku Mee, khususnya kaum pria. Sedangkan
barang barang lain yang disita, seperti noken bergambar Bintang Kejora
dan Memori HP berisi atribut Papua Merdeka serta foto aktifis adalah
tindakan yang sangat memalukan institusi Polri dan TNI. Karena simbol
simbol Papua Merdeka dan foto para aktifis itu sudah beredar luas,
seperti di buku buku, di media (cetak maupun elektronik), dan lain
sebagainya.
Sasaran sweeping kepada warga sipil yang berambut gimbal dan jenggot
panjang dengan anggapan dari polisi dan TNI bahwa orang Papua berambut
gimbal dan jenggot panjang adalah anggota TPN OPM, ini sungguh
memalukan. Perlu diketahui bahwa berambut gimbal dan berjenggot panjang
adalah salah satu tradisi dari orang Papua.
TNI dan Polri harus
memahami sosial budaya orang Papua agar tidak dengan gegabah melakukan
tindakan sewenang-wenang. Tanpa memahami sosial budaya setempat, polisi
dan TNI dapat mengambil tindakan yang dapat mengorbankan warga sipil
setempat yang tidak bersalah. Dan dengan tindakan ceroboh itu dapat
merusak citra institusi TNI dan Polri.
Polisi dan TNI sudah tahu budaya setempat bahwa pisau, parang, kampak
dan sikop yang digunakan oleh warga sipil untuk berkebun; juga tahu
bahwa anak panah dipandang warga setempat sebagai simbol identitas suku
setempat. Polisi dan TNI juga sudah tahu bahwa atribut Papua merdeka,
seperti bintang kejora dan foto para aktifis itu sudah beredar luas,
baik di internet, di buku, di media cetak, dan lain sebagainya.
Selama ini Polisi dan TNI serta BIN menganggap orang Papua yang memiliki
rambut gimbal dan jenggot panjang adalah anggota TPN OPM. Ketika aparat
menjumpai ciri ciri fisik seperti itu, aparat selalu mengambil tindakan
ceroboh untuk menyusahkan mereka. Itu sangat keterlaluan.
Perlu
saya tegaskan di sini bahwa semua orang Papua yang merindukan kebebasan
dari penjajahan Indonesia adalah OPM. Apa pun tindakan yang dilakukan
oleh TNI dan Polri tidak akan mampu memusnahkan ideologi Mabruk dan
tidak akan mampu membendung aspirasi politik Papua Merdeka. Tindakan
ceroboh seperti itu berhenti (berubah) dan mengedepankan pendekatan
persuasif dalam menghadapi warga sipil apa pun masalahnya, bukan dengan
represif.
Apa penyebab tragedi berdarah di Waghete? Karena gabungan TNI dan Polri
melakukan sweeping yang berlebihan. Seorang aktifis setempat katakan
bahwa masyarakat tidak menerima sweeping berlebihan dari gabungan TNI
dan Polri. Ia katakan bahwa pada hari Sabtu 21 September 2013 gabungan
TNI dan Polisi melakukan sweeping berlebihan dan aparat menahan sekitar
15 orang Papua yang berambut gimbal dan berjenggot panjang. Dan pada
tanggal 23 September 2013 aparat kembali melanjutkan sweeping berlebihan
lagi ditempat yang sama. Masyarakat tidak menerima sweeping yang
berlebihan itu.
Menurut aktifis itu katakan bahwa yang melakukan protes itu bukan orang
dewasa, tetapi anak anak pelajar SMP dan SMA serta beberapa pemuda,
karena aparat juga menyita memory HP dari beberapa anak sekolah. Anak
anak sekolah ini tidak terima perlakuan gabungan TNI dan Polri itu,
apalagi melihat dua orang ibu yang sedang pergi ke kebun, saat itu
polisi menyita sikop yang dibawanya, dan aparat pun memeriksa koteka
yang dipakai para laki laki dewasa.
"Protes
itu dilakukan oleh anak anak sekolah, dan orang tua tidak terlibat.
Tetapi polisi sikapi protes dari anak anak pelajar itu dengan
berlebihan. Kapolres Paniai berulang kali berteriak perintahkan anak
buahnya untuk menembak anak anak itu. Saat itu saya ada di situ dan
melihat Kapolres bersama para anggotanya mengejar dan menembak anak anak
sekolah itu dengan senjata api. Saya dengar ada 4 warga sipil ditahan
pada hari itu," demikian keterangan seorang aktifis yang tidak mau
disebutkan namanya karena alasan
keamanan.
Apakah tuduhan polisi bahwa kerusuhan itu terjadi karena diduga
diprovokasi oleh sekelompok orang pendukung kandidat Bupati yang kalah
dalam Pilkada Deiyai? Menurut seorang aktifis setempat yang tidak mau
disebutkan namanya mengatakan: "menyangkut tragedi Waghete murni
dilakukan oleh gabungan TNI dan POLRI, maka tidak bisa disangkut pautkan
dengan masalah pilkada."
Dari fakta fakta membuktikan bahwa yang memprovokasi warga sipil untuk
melakukan aksi protes adalah aparat TNI dan Polri yang melakukan
sweeping berlebihan dan penahanan sewenang-wenang. Dan selanjutnya
aparat TNI dan Polri menyikapi protes warga sipil itu dengan represif,
yaitu penembakan, pembunuhan, penangkapan dan penyiksaan warga sipil
dengan sewenang-wenang.
Jika tidak melakukan sweeping berlebihan oleh gabungan TNI dan Polri,
maka tentunya tidak ada protes dari warga sipil. Jika aksi protes warga
sipil itu tidak ditanggapi dengan represif oleh aparat TNI dan Polri,
maka tentunya tidak ada korban penembakan, penyiksaan dan intimidasi
serta penahanan sewenang-wenang. Jadi singkatnya adalah justru karena
gabungan TNI dan Polri melakukan sweeping berlebihan; itulah yang telah
memicu reaksi protes dari warga sipil; yang selanjutnya disikapi dengan
represif oleh aparat TNI dan Polri; dan yang kemudian mengakibatkan
tragedi berdarah di Waghete itu.
"Tuduhan polisi bahwa kerusuhan itu terjadi karena diduga diprovokasi
oleh sekelompok orang pendukung kandidat Bupati yang kalah dalam Pilkada
Deiyai", ternyata tuduhan itu hanyalah strategi polisi untuk
melemparkan kesalahan kepada warga sipil pendukung salah satu kandidat
yang kalah dalam Pilkada Deiyai. Selama ini terbukti bahwa polisi dan
TNI hadir bukan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, tetapi
sebaliknya mereka hadir untuk menciptakan masalah dan konflik di tengah
masyarakat.
Apakah benar warga sipil menyerang aparat dengan anak panah, batu dan
kayu? Berikut ini kutipan komentar seorang aktifis setempat: "Saat
kejadian saya ada di sana. Masyarakat tidak bawah panah. Kami kecewa
karena mereka periksa koteka (pakaian tradisional yang dipakai laki
laki). Dalam koteka itu ada apa, ada alat kelamin saja to! Kami tanya,
kalau mau sweeping togel (judi) dan miras kenapa tidak hentikan? Miras
dan togel polisi yang biarkan supaya lewat itu kami orang Papua dibunuh
dan ditembak seperti ini," demikian kata Yohanes Mote kepada
majalahselangkah.com
(www.majalahselangkah.com/content/penembakan-pelajar-di-deiyai-aktivis-ham-minta-kapolri-copot-pelaku-dan-evaluasi-polisi-di-papua).
Selain Yohanes, ada aktifis lain yang tidak mau menyebutkan namanya
mengatakan: "Anak anak pelajar itu tidak menyerang aparat dengan panah.
Saya hanya lihat dua atau tiga anak pelajar itu melempar batu ke arah
aparat, tetapi batu itu tidak mengenai para aparat itu. Justru Polisi
dan TNI brutal menembak ke anak anak itu. Yang tembak Alpius Mote itu
ajudan Kapolres Paniai. Alpius mati di tempat karena peluru tembus rusuk
kanan dan keluar di punggung belakang, bukan tewas dalam perjalanan
menuju ke RSUD Paniai. Alex Mote kena peluru di paha kanan. Setelah
Alpius ditembak mati, polisi kumpulkan selongcong tempat peluru. Saya
tidak ambil foto karena saat itu keadaan tidak memungkinkan," Demikian
keterangan seorang aktifis yang saat tragedi itu ada ditempat kejadian.
Dari keterangan dua aktifis setempat itu, sudah jelas bahwa tuduhan
pihak polisi itu hanya untuk membenarkan tindakan represif yang telah
melukai dan menewaskan warga sipil.
Ironis memang! Juru bicara polda Papua melegalkan tindakan kepolisian
dan TNI itu. Ia katakan bahwa penembakan aparat itu sudah sesuai
prosedur karena warga semakin anarki; bila tidak melakukan penembakan,
aksi akan berkembang menjadi luas,
(www.news.viva.co.id/news/read/446352-bentrok-aparat-dan-warga-di-papua--1-tewas).
Apa tujuan terselubung dari sweeping berlebihan itu? Dari fakta-fakta di
atas, dapat disimpulkan bahwa sweeping itu dilakukan dengan maksud
untuk menciptakan konflik baru di Waghete, Distrik Tigi, Kabupaten
Deiyai. Bukan untuk mengamankan minuman keras dan judi (togel). Tetapi
mengamankan orang Papua berambut gimbal dan berjenggot panjang yang
dianggap TPN OPM, serta menyita atribut Papua merdeka dan meneror,
meresahkan, menyiksa serta membunuh warga sipil setempat.
Buktinya adalah pada
tanggal 21 September 2013 sekitar 15 orang lebih berambut gimbal dan
berjenggot panjang telah disiksa dan ditahan oleh Kapolres Paniai. Dan
pada tanggal 23 September 2013 satu orang pelajar ditembak mati dan satu
lainnya ditembak di paha kanan. Selain itu Yance Pekey, guru bahasa
Inggris SMA Negeri 1 Deiyai yang memprotes perlakuan aparat, ia pun
disiksa di kantornya dan dikabarkan bahwa ia pun ditahan bersama dengan 3
warga sipil di Polres Paniai.
Jadi diperkirakan jumlah
warga sipil yang ditahan oleh Polisi berjumlah sekitar 19 orang. Nama
nama mereka sulit diketahui, karena polisi tidak memberikan akses untuk
bertemu para tahanan itu. (Laporan awal kasus ini Anda baca di Situs
berikut ini:
(www.westpapuamedia.info/2013/09/27/preliminary-report-into-waghete-deaths-and-sweepings/).
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam tragedi pada
tanggal 21 dan 23 September 2013 di Waghete diduga telah terjadi
Pelanggaran HAM Berat, yang diawali dengan sweeping berlebihan oleh
gabungan TNI dan Polri; dan itu telah mengakibatkan penahanan sewenang
wenang, menyiksa, meneror, melecehkan, melukai warga dan menembak mati
serta meresahkan warga sipil setempat.
Tindakan tindakan Polisi dan TNI itu tidak dapat dibenarkan dengan
alasan apa pun. Tragedi berdarah itu dikategorikan ke dalam pelanggaran
HAM Berat yang harus diproses hukum dan dipertanggung jawabkan. Karena
itu penulis menyampaikan pernyataan sikap dan rekomendasi kepada
beberapa pihak, yaitu:
Pertama, Stop sweeping berlebihan, teror/intiminasi,
penyiksaan, penembakan, pembunuhan, dan penahanan sewenang wenang oleh
aparat TNI dan Polri di Tanah Papua.
Kedua, Para pelaku harus diadili di pengadilan HAM atau di pengadilan umum untuk pertanggung jawabkan perbuatannya.
Ketiga, Kapolri segera mencopot pelaku dan mencopot
jabatan Kapolsek Tigi, Kapolres Paniai dan Kapolda Papua karena mereka
tidak mampu memberikan rasa aman bagi warga sipil dan tidak bertanggung
jawab.
Keempat, Kepada Kapolres Paniai agar segera membebaskan
tanpa syarat sekitar 19 warga sipil yang ditahan dengan
sewenang-sewenang di Polres Paniai.
Kelima, Kepada Tim Investigasi Tragedi Berdarah di
Waghete yang telah dibentuk oleh DPRP pada tanggal 25 September 2013
segera turun ke Waghete untuk kumpulkan data data kasus itu.
Keenam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Komnas HAM RI) segera membentuk Tim Adhoc untuk
menindak-lanjuti Temuan Awal yang akan dilaporkan oleh Tim Investigasi
Independen yang dipimpin oleh Komisi A DPRP.
Ketujuh, Kepada semua pihak, lebih khusus Pemerintah
setempat, Tokoh Gereja dan Tokoh Adat berperan aktif untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban di Deiyai pasca tragedi berdarah itu.
Kedelapan, Kepada para peduli dan pekerja kemanusiaan di
mana saja Anda berada untuk mohon Advokasi, Monitoring dan
Mempublikasikan kasus ini, serta mohon Pendampingan bagi warga sipil
yang telah ditahan di Rumah Tahanan Negara di Polres Paniai.
Kesembilan, Camkanlah bahwa sweeping berlebihan,
teror/intiminasi, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, dan penahanan
sewenang wenang terhadap orang asli Papua oleh aparat TNI dan Polri di
Tanah Papua tidak akan pernah menyelesaikan masalah-masalah di Papua;
karena itu kami meminta RI untuk berdialog atau berunding tanpa syarat
dengan bangsa Papua, yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan
dilaksanakan ditempat netral untuk melahirkan solusi bermartabat.
Demikianlah fakta dan analisa tragedi berdarah di Waghete, serta sikap
dan rekomendasi ini dibuat dan dikeluarkan untuk diperhatikan dan
ditindak-lanjuti oleh pihak pihak terkait. Terimakasih.
Selpius Bobii, adalah Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura.
Sumber : http://majalahselangkah.com
0 komentar for "Tragedi Berdarah di Waghete, Papua: "Diduga Pelanggaran HAM Berat" "