Cover Majalah Pelita Papua
Jayapura-- Fidelis Jeminta, Pimpinan Redaksi Majalah mingguan Pelita Papua, Rabu, 3 Juli 2013 datang
ke Perpustakaan Rakyat Papua di Jalan Percetakan Jayapura.
Ia hendak mengambil Majalah Pelita Papua edisi perdana 64 halaman yang telah dicetak di sana. Ketika ia tiba di sana, lebih dahulu dua anggota polisi dari Polresta Jayapura berada di sana.
Ia hendak mengambil Majalah Pelita Papua edisi perdana 64 halaman yang telah dicetak di sana. Ketika ia tiba di sana, lebih dahulu dua anggota polisi dari Polresta Jayapura berada di sana.
Dua anggota polisi itu
memberitahu, Fidelis tidak bisa mengambil majalahnya."Saya tanya kenapa? Tapi,
mereka bilang, kami juga tidak tahu. Kami hanya menjalankan perintah saja pak," kata Fidelis melalui wawancara telepon dengan majalahselangkah.com, Jumat, (05/07/13).
"Pak majalah ini kami ambil
untuk dipelajari. Lalu, saya tanya lagi kenapa
kok tidak ikut prosedur? Seharusnya kan kalau ambil majalahnya, menghubungi
dong pimrednya. Kalau ambil di percetakan itu kan sama dengan mencuri. Lalu,
mereka tanya beredar di mana? Lalu, saya jawab majalah ini beredar semua secara
nasional. Mereka tidak tanya banyak dan membawa pergi majalah," kata Fidelis.
Kata dia,
ia tidak menduga majalahnya akan ditahan. Karena, sekitar 250 eksemplar telah beredar dan masih sisa sekitar 1.750
dari 2000 eksemplar di percetakan.
"Saya tidak menyangka akan diperiksa polisi.
Tidak masalah kalau polisi memanggil saya. Tapi yang menjengkelkan, tanpa saya diberitahu, polisi langsung ke
percetakan dan melarang terbit," kata
Fidelis.
Dijelaskan
Fidelis, Majalah Pelita Papua berkantor di Merauke dan mendapatkan izin terbit
dari pemerintah setempat. Majalah bersampul Bintang Kejora itu memberitakan tentang pendirian Kantor Free West Papua di Oxford,
Inggris, artikel tentang pembangunan kesehatan, pendidikan, dan lainnya
sebagaimana majalah umumnya.
Pendirian
Kantor Free West Papua di Oxford, Inggris telah diberitakan media-media di
dunia, termasuk media-media nasional dengan gambar bintang kejora. Semua rakyat
Papua juga telah mengetahui ada kantor Free West Papua di Oxford.
"Tidak ada
kepentingan atas kejadian ini, kami merasa ini tidak adil.
Kenapa kebebasan pers ditekan. Padahal di luar sana, ada begitu
banyak media yang memuat gambar Bintang Kejora namun tidak diperiksa polisi,"
tuturnya kesal.
Polisi Bantah Tekan Pers di Papua
Polisi Bantah Tekan Pers di Papua
Diberitakan,
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Polisi I Gede
Sumerta Jaya mengatakan, pemuatan materi
tentang kemerdekaan Papua, atau yang bersifat menghasut, tentu akan dilarang
edar.
Dikatakan,
jika isisnya tentang kemerdekaan Papua pasti dilarang. I Gede Sumerta Jaya membantah
tidak ada penekanan atas pers. Juga, tak
ada usaha untuk membredel Majalah Pelita Papua. Menurutnya, majalah itu diambik untuk pemeriksaan.
Langgar UU Pers, Polisi Bisa
Dilaporkan ke Dewan Pers
Menanggapi larangan ini, Ketua Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Papua, Victor Mambor kepada majalahselangkah.com
mengatakan, pelarangan ini membuktikan
bahwa masih ada sensor terhadap kebebasan pers di Indonesia, terutama di Papua.
Tindakan polisi ini, kata dia, jelas
salah, apalagi dengan mendatangi percetakan untuk mengecek content berita.
"Apapun alasannya, itu bertentangan dengan UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal
4."
"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," katanya.
"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," katanya.
Pendiri Yayasan
Pantau, Andreas Harsono ketika dimintai keterangan soal ini mengatakan, sejak ada UU
Pers tidak boleh lagi ada pembredelan
media apa pun.
"Saya kebetulan ikut
merumuskan UU Pers 1999. Saya ingat rapat-rapat di Dewan Pers pada 1998-1999.
Inti dari UU Pers tersebut adalah di Indonesia, sejak diundangkan UU Pers,
tidak boleh lagi ada pembredelan media apapun," kata wartawan senior itu.
Harsono menjelaskan, substansi
dari hukum tersebut adalah warga Indonesia berhak mendapatkan informasi lewat
media, jurnalisme, yang baik, namun juga yang mungkin juga kurang baik.
"Perbuatan polisi
Papua dengan merampas majalah di percetakan secara substansi bertentangan
dengan UU Pers 1999. Pihak media bisa
melaporkan perbuatan polisi kepada Dewan Pers, selaku lembaga yang dipercaya
untuk mengatasi persengketaan soal pers, atau bisa dituntut lewat pengadilan
tata usaha Negara," kata Harsono yang juga Peneliti Human Right Watch itu.
"Hukum dan mekanisme tersebut seyogyanya dihormati dan dijalankan di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke," tuturnya.
Lebih lanjut, Harsono mengatakan, "Bila alasan polisi perampasan majalah
dilakukan karena ada gambar Bintang Kejora, saya usul majalah atau suratkabar
di Jakarta, yang memuat gambar serupa saat media meliput peresmian Free West
Papua di Oxford, juga dirampas agar hukum tersebut dijalankan dengan fair,
tidak berat sebelah, antara media di Papua dan media di Jakarta". (MS)
0 komentar for "Kisah, Bantahan dan Kecaman Larangan Peredaran Majalah "Pelita Papua""