Jayapura, (18/12)—“Kami berjuang bukan untuk mendirikan negara Papua Merdeka, tapi kemerdekaan Papua Barat yang sudah ada supaya dikembalikan. Ingat kami rakyat Papua Barat tidak mendirikan negara di atas negara. Tapi pihak lain yang mendirikan negara di dalam negara Papua Barat. Jadi pihak lain yang mendirikan negara di dalam negara Papua Barat. Hak inilah yang harus diluruskan.
Begitulah kutipan wawancara dengan mendiang Theys Hiyo Elluay dalam buku berjudul, Babak Baru Perlawanan Orang Papua yang ditulis mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Jubi, Mohammad Kholifan.
Elluay lebih mendorong perjuangan meluruskan sejarah Bangsa Papua dan memilih jalan damai lewat politik sopan santun. Bahkan salah satu pentolan Presidium Dewan Papua(PDP) lebih mengutamakan perjuangan harus melalui beberapa tahap.
Pertama, dialog terbuka antara masyarakat Papua Barat di Jakarta dengan masyarakat Papua di Provinsi Irian Jaya. Kedua dialog nasional antara masyarakat Papua Barat dengan Presiden BJ Habibie. Hasilnya tim seratus menghadap Presiden BJ Habibie.” Pulang dan renungkan,”pesan mantan Presiden BJ Habibie kepada tim seratus dari Provinsi Irian Jaya.
Ketiga, dialog, internasional antara Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat. “Jadi kalau sudah merdeka perjuangan Papua Merdeka selesai,”kata almarhum Theys Hiyo Elluay. Sayangnya Elluay harus tewas sebelum menyelesaikan semua agenda dan cita-citanya untuk mengembalikan hak merdeka orang Papua.
Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesia, menulis jika dikaji dalam perpekstif sejarah, maka puncak permasalahan integrasi politik Irian Jaya bermula pada perbedaan pendapat antara pihak Indonesia dan Belanda di dalam Konfrensi Meja Bundar(KMB) pada akhir 1949. Akibatnya kedua belah pihak bertekad untuk memperkuat posisi masing-masing.
Seiring dengan meningkatnya tekanan-tekanan militer Indonesia, pada April 1961 Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea atau Nederlands Niueuw Guinea Raad. Pemerintah Belanda di Nederland Nieuw Guinea juga mendirikan pendidikan bagi calon Pamong Praja, mendirikan Polisi Papua dan Batalion Papua.
Melangkah lebih jauh lagi tulis Prof Dr Nazaruddin Sjamsudin, Belanda membentuk pula Komite Nasional Papua yang menggantikan Dewan Nieuw Guinea. Komite ini bertugas untuk merencanakan pembentukan sebuah negara Papua yang merdeka.
Perkembangan Komite Nasional Papua dan penaikan bendera Bintang Kejora bersanding dengan Bendera Belanda di Kota Hollandia (Jayapura sekarang) pada 1 Desember 1961. Momen inilah yang membuat Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 mengomandokan Trikora( Tiga Komando Rakyat) di alun-alun Jogyakarta antara lain memerintahkan penggagalan pembentukan pembentukan negara Papua.
Pemerintah Indonesia dan Belanda sama-sama berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan pilihan bagi rakyat Papua. Indonesia dengan tekadnya mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan Belanda berusaha mendorong Nenderlands Nieuw Guinea menjadi negara merdeka melalui proses dekolonisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI), Muridan Wijoyo menjelaskan Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan untukmemastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri sebanyak 1025 anggota Dewan Musyawrah Pepera(DMP) termasuk alm Theys Hiyo Elluay yang juga ikut sebagai perwakilan rakyat Papua. Berbeda dengan Muridan Wjoyo, penelitian ilmiah Prof. Dr. Droglever dari negeri Belanda telah menyimpulkan kalau Penentuan Pendapat Rakyat Pepera), 1969 tidak demokratis, cacat hukum dan moral(Jubi/Dominggus A Mampioper)\
sumber:jubi
0 komentar for "Kapankah Konflik di Atas Tanah Papua Berakhir"