Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat
Papua dilakukan Versi Indonesia, seharusnya mekanisme peraktek Internasional yaitu
satu orang satu suara “one man one voice”. Pepera dimulai sejak 14 Juli sampai dengan 4 Agustus 1969. Saat itu
penduduk orang asli papua mencapai 8000 jiwa Penduduk. Namun yang ikut serta
dalam Pepera hanya 1025 orang. Kemudian yang memberikan pendapat hanya 175
orang saja, lainya belum memberikan pendapat, karena penuh dengan melakukan
berbagai teror, Intimidasi, penangkapan, kekerasaan, pembunuhan dan berbagai
manipulasi social politik terhadap masyarakat Papua saat itu, yang mana
masyarakat Papua mempertahankan Kemerdekaan atau tidak mau gabung dengan
Indonesia.
Pada 15 agustus 1962, Konsep Pepera
lahir sering kenal denga Perjanjian New
York (New York Aggrement) antara Negara Indonesia dengan Negara Belanda Atas
Tanah Papua Barat. Perjanjian ini
terdiri dari 29 pasal yang Mengatur 13
macam hal. Isi perjanjian seperti ini:
a. Transfer admintrasi (Pengalihan admintrasi) dari
pemerintah Belnda kepada PBB yang diatur dalam pasal 2 s/d 11
b. Transfer admintrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur
dalam Pasal 12dan 13 (2 pasal)
c. Penentuan Nasib Sendiri (self-Determination)yang diatur
dalam Pasal 14 s/d 21 (8 pasal)
1. Pelaksanaan Penentuan Nasib sendiri harus di bawah
nasihat, bantuan dan partisipasi PBB
2. Prosedur Penentuan Nasib sendiri harus dimusyawaraakn
wakil-wakil rakyat
3. Persyaratan untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib
sendiri harus berdasarkan peraktek-peraktek Internasional
4. PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan
Penentuan Nasib sendiri kepada majelis umum PBB
5. Indonesia dan Belanda akan mengakui dan terikat pada
hasil penentuan nasib Sendiri
d.
Hak-hak penduduk diatur dalam pasal 22 s/d23
(2 pasal) (Agus Alua: Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan. Hal:49-50)
Pepera dilakukan berdasarkan Pasal XVIII
Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas bahwa Pemerintah Indonesia akan
melaksanakan pepera dengan bantuan dan partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya
untuk memberikan kepada rakyat yang ada di Papua kesempatan menjalankan
penentuan pendapat secara bebas. Kemudian melakukan konsultasi dengan
Dewan-Dewan Kabupaten yang ada di Papua untuk membicarakan metode pelaksanaan
pepera ini. Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan
memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan
dijalankan sesuai dengan aturan Internasional.
Dimana mereka yang punya hak pilih itu adalah
mereka yang tinggal di Papua saat Perjanjian New York ditandatangani dan mereka
yang berada di Papua ketika PEPERA dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua
yang meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan
kembali kependudukannya setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.
Namun ternyata Pemerintah Indonesia hanya
melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara
penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan
membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1025
anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk
langsung oleh Indonesia (Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten)
dan dibawah intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan
Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.
Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung
di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka (anggota
DMP red) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap
hari mereka hanya diberi makan nasehat supaya harus memilih bergabung dengan
Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.
Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di
Merauke pada tanggal 14 Juli 1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4
Agustus 1969, datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo
Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru /
Sekarang Jayapura ) dan kemudian didampingi oleh beberapa anggota DPRGR
Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim
ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat
untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H.
Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York
Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan.
Agar bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya
dan Anggota DMP tinggal baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis
disuruh menghafal untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP
kemudian ditampung di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer
serta selalu diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan
Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa
nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya
harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia".
Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret
hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI)
31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25
Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten
ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang
ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten
dipilih anggota DMP oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan
Pemerintah Jakarta.
NAMA-NAMA PESERTA/PEMIIH DAAM PEPERA 1969
Tapi menurut buku Salikin Soemowardojo dalam
buku Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat, terbitan Pemerintah Daerah
Provinsi Irian Barat 1969, Pepera dilakukan bertahap. Mula-mula di Merauke, 14
Juli 1969, dengan 175 orang, lalu Jayawijaya, 16 Juli, dengan 175 orang, lalu
Paniai (175 orang) pada 19 Juli, Fak-fak (75 orang) pada 23 Juli, Sorong (109
orang) pada 26 Juli, Manokwari (75 orang) pada 29 Juli, Teluk Cenderawasih (131
orang) pada 31 Juli serta Jayapura (110 orang) pada 2 Agustus 1969.
Bila angka-angka tersebut dijumlahkan, saya
dapat angka 1,025 orang. Salikin juga menulis bahwa 1,025 orang tersebut, tidak
semua wakil rakyat Papua hadir saat Pepera. Di Merauke, Paniai, Teluk
Cenderawasih dan Jayapura, masing-masing ada satu orang tidak hadir. Artinya,
dari 1,025 masih dikurangi empat, menjadi 1,021 orang. Uniknya, walau empat
orang tidak hadir, suara mereka tetap dihitung hadir.
Lebih aneh lagi. Dalam daftar milik Thamrin,
ada “Kabupaten Yapen Waropen” ikut dalam Pepera plus delapan kota lain, sama
dengan Salikin. Total Thamrin sebut ada sembilan kota dimana Pepera dibikin.
Salikin hanya sebut delapan tempat. Saya duga dua angka tersebut dibuat
berdasar pembagian wilayah saat masing-masing daftar dibikin. Thamrin mengacu
pada pembagian administrasi wilayah pada 1991 dimana sudah ada Yapen Waropen.
Dan Salikin pada data 1972 dimana Yapen Waropen masuk wilayah Teluk
Cenderawasih.
Lebih
ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran,
perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim
fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan
oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat
dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam
kekuasaan Indonesia.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia